Senin, 09 Januari 2017

Makalah “Adat Perkawinan Di Aceh Besar ”


KATA PENGANTAR

            Alhamdulilah puji syukur kita panjatkan kepda ALLAH SWT  yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya dengan judul” Adat Perkawinan Di Aceh Besar ”. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Imam Juaini sebagai dosen pengasuh  mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat dan khususnya bagi pembaca pada umumnya. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis berharap bagi pembaca dapat memberi kritik atau saran yang membagun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI

Kata pengantar....................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
A.      Latar belakang........................................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.      Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.    Adat Istiadat Daerah Aceh Besar........................................................... 3
B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Adat Upacara Perkawinan................... 3
a.       Tujuan Perkawinan menurut Adat.................................................... 4....
b.      Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh......................................... 5
c.       Bentuk Perkawinan........................................................................... 6
d.      Syarat-Syarat Perkawinan................................................................. 6
e.       Cara Memilih Jodoh........................................................................ 10
C.     Upacara Dan Pesta Pekawinan.............................................................. 11
a.       Upacara sebelum perkawinan.......................................................... 11
b.      Acara perkenalan sebelum perkawinan........................................... 14
c.       Masa peminangan............................................................................ 14
d.      Bawaan hadiah pertunangan........................................................... 15
e.       Upacara peresmian perkawinan....................................................... 16
f.       Intat linto baro................................................................................. 17
g.      upacara intat Dara Baro................................................................... 19
h.      peusijuek dara baro.......................................................................... 22
BAB III PENUTUP........................................................................................ 23
A.    Kesimpulan............................................................................................ 23
B.     SARAN................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... iii

Bab 1
Pendahuluan
A.    Latar belakang
       Budaya aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adat istiadatnya sangat berkaitan dengan islam.Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat aceh tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Budaya yang islam ini kita harapkan dapat tercermin dalam semua tingkah laku dan kehidupan orang aceh.
        Budaya aceh mempunyai prinsip yang disebut adab dan agama itu tidak ubahnya seperti zat dan sifat yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: dari segi berbusana, idealnya busana aceh sangat sederhana yakni busana yang menutup aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya aceh bagi anak laki-laki yang memakai anting disebut tidak waras (pungoe) karena anting itu adalah perhiasan bagi wanita
       Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakatAceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis. Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan. Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan motif biologis karena menganggapnya tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran masyarakat.
        Perkawinan akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma adat dan agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk mengawinkan anaknya, bila anaknya sudah sampai waktunya(kematangan seksual) yang dalam bahasa Aceh disebut (tro’ umu), Selain kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan hidup bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerjasama dengan keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat merekadalam mengasuh rumah tangga. Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua kelompok adat di  Aceh.


B.     Rumusan masalah
1.      Mengetahui bagaimana proses pernikahan di aceh besar?
2.      Apa saja adat-adat pernikahan di aceh besar?
3.      Apa saja hal- hal yang di lakukan masyarakat aceh besar sebelum menikah?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana proses pernikahan di aceh besar
2.      Untuk mengetahui apa saja adat-adat pernikahan di aceh besar
3.      Untuk mengetahui apa saja hal- hal yang di lakukan masyarakat aceh besar sebelum menikah

























BAB 11
PEMBAHASAN

A.    Adat Istiadat Daerah Aceh Besar
            Adat istiadat daerah Aceh Besar mengandung pengertian kebiasaan turun temurun yang sudah membudaya pada suatu masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan yang mentradisi dan menjadi suatu norma yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, “setiap masyarakat terikat suatu sistem adat istiadat tertentu, yaitu suatu komplek norma-norma yang dianggap ada di atas manusia yang hidup bermasyarakat”.[1] Adat itu tumbuh dan berkembang dari kebiasaan yang hidup dilakukan berulang kali dan bila ia sudah berkembang seperti normatif, maka ia dirasakan sebagai hukum yang perlu dipatuhi.[2]
            Adat istiadat yang berkembang di Daerah Istimewa Aceh Besar pada Umumnya dipengaruhi oleh ajaran Islam, sebab adat Aceh merupakan manifestasi pengalaman ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan masyarakat Aceh Besar yang bernuansa Islami. Hukum Islam dan adat melekat kuat menjadi suatu kebiasaan. Begitu eratnya hubungan antara adat dan agama menyebabkan lahirnya ungkapan yang populer dikalangan masyarakat yang berbunyi:
“Adat bak Pou temeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. Hukom ngon Adat Lagee zat ngoen sipheuet.
Maksudnya: Hukum agama ditangan ulama, hak membuat undang-undang ditangan Putroe Phang sebagai lambang dari Rakyat, Kekuasaan rakyat dalam keadaan perang ditangan Laksamana. Hukum (agama) dengan adat seperti zat dengan sifatnya”. [3]

B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Adat Upacara Perkawinan
            Sebelum dijelaskan pengertian dan ruang lingkup adat perkawinan, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dan ruang lingkup adat istiadat. Adat adalah kebiasaan secara turun temurun. Adat istiadat mengandung pengertian kebiasaan turun temurun yang sudah membudaya pada suatu masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan yang mentradisi dan menjadi suatu norma yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.[4] 
            Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa adat istiadat merupakan suatu tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah terjadi turun temurun pada suatu komunitas masyarakat. Lain daerah lain pula adatnya, keaneka ragaman (variasi) adat adalah suatu daerah dengan daerah lainnya mungkin muncul, antara lain daripada perbedaan pandangan hidup masyarakat yang membentuk kebiasaan tadi.       
            Adat istiadat perkawinan adalah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam upacara perkawinan. Pemuka adat dalam perkawinan berperan sebagai orang yang mengatur dan mengkoordinir upacara perkawinan. Peranan pemuka adat dalam upacara perkawinan sangat vital, tanpa pemuka adat tidak ada orang yang mengatur dan bertanggung jawab dalam sebuah upacara perkawinan. Oleh sebab itu “keberadaan pemuka adat dalam suatu wilayah mutlak diperlukan untuk mengkoordinir upacara perkawinan”.[5]
            Adat istiadat perkawinan merupakan kebiasaan-kebiaasaan yang dilestarikan secara turun temurun yang berhubungan dengan proses perkawinan di Aceh Besar. Dalam adat-istiadat perkawinan, pemuka adat berperan memberikan masukan-masukan tentang proses upacara adat perkawinan dilaksanakan. Sebagai orang yang dianggap mengetahui adat istiadat setempat, keberadaan pemuka adat menjadi orang yang membimbing dan mengarahkan upacara perkawinan sesuai dengan adat istiadat setempat.
            Adat sebelum perkawinan merupakan ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi tidak masuk dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini yang termasuk adat sebelum perkawinan adalah tujuan perkawinan, perkawinan ideal dan pembatasan jodoh, syarat-syarat kawin dan pemilihan jodoh.
a)      Tujuan Perkawinan menurut Adat
Merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup. Pada dasarnya perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung keturunannya. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan selaras dengan keinginan manusia, maka dibuatlah bermacam-macam aturan yang kemudian menjadi adat tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat Aceh Besar dalam menyelenggarakan perkawinan mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi kebutuhan biologis
2. Untuk melaksanakan perintah agama
3. Untuk memenuhi adat
4. Tujuan yang bersifat ekonomi
5. Tujuan untuk mempererat silaturrahmi
6. Tujuan untuk mencari ketenangan hidup

b)   Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh
Pada suku bangsa Aceh Besar mengenal adanya perkawinan yang ideal dan pembatasan jodoh. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang lebih disukai, walaupun merupakan suatu keharusan. Pembatasan jodoh yang terdapat pada masyarakat Aceh Besar menyebabkan masyarakat harus kawin diluar batas lingkungan tertentu (eksogami). Masyarakat Aceh Besar mempunyai pantangan untuk tidak melakukan perkawinan dengan suatu keluarga.
            Masyarakat Aceh Besar pada umumnya beragama islam, sangat mematuhi ajaran islam tentang perkawinan. Karenanya, perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak saudara laki-laki ayahnya yang perempuan tidak boleh terjadi karena menurut islam orang tersebut saudara. Disamping perkawinan itu, perkawinan dengan saudara kandung sendiri sangat dilarang dan tidak dapat dibenarkan menurut agama, sedangkan perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang seagama.
            Pembatasan jodoh lainnya sangat berhubungan dengan kepercayaan. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa masyarakat Aceh Besar menganut agama Islam yang fanatik. Perkawinan dengan orang di luar agama Islam (tidak seiman) sangat dilarang dan di anggap membuat aib atau malu keluarga dan seluruh kampong, kecuali jika yang dikawini itu seorang muallaf (telah mengucapkan kalimat syahadat). Biasanya, sanksi yang diberikan, orang yang bersangkutan tidak diakui lagi oleh orang tua dan keluarganya serta dikucilkan dari kehidupan masyarakat.
            Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Aceh adalah perkawinan yang dilakukan dengan orang yang kedudukannya setara atau seimbang. Perkawinan yang setara kedudukannya itu di lingkungan masyarakat Aceh Besar bukan berarti keduanya harus berasal dari keturunan bangsawan, tetapi dapat saja mereka yang akan melangsungkan perkawinan berasal dari orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hal kemampuan sosial dan ekonomi. Perkawinan ini juga sangat ditentukan oleh akhlak dari masing-masing calon pengantin.


c)      Bentuk Perkawinan
Pada dasarnya hanya ada satu bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan dengan peminangan, terutama bagi para gadis dan jejaka. Pihak keluarga pria mengirim utusan sebagai wakil orang tuanya untuk meminang anak gadis dari keluarga lain. Pinangan dilakukan secara adat. Jika sudah ada kata sepakat, maka ditentukan oleh kedua belah pihak hari pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah orang tua gadis, yang dipimpin oleh keuchik atau pemangku adat. Setelah perkawinan selesai, untuk sementara pengantin bertempatan tinggal di rumah orang tua dara baro (pengantin perempuan).
Bentuk perkawinan yang lain jarang terjadi. Bentuk perkawinan yang lain antaranya, kawin lari. Perkawinan ini terjadi karena apabila orang tua kedua belah pihak tidak setuju atas percintaan anak-anak mereka. Misalnya, karena tidak seagama, bertabiat buruk atau tidak sopan, baik pria maupun gadis, sedangkan keduanya sudah saling mencintai dan sudah memutuskan untuk kawin. Secara diam-diam keduanya melarikan diri ketempat lain untuk menghadapi pegawai KUA agar mau menikahkan mereka. Sesuai dengan perintah agama, kedua harus dinikahkan, agar tidak berbuat zina. Masyarakat tidak mempermasalahkan orang yang kawin lari karena tidak melanggar ketentuan agama. Hanya saja, untuk sementara waktu keduanya belum direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Apabila mereka sudah mempunyai anak, hidup bahagia, dan datang kepada orang tua masing-masing untuk minta maaf, mereka akan direstui sebagai suami istri. Perkawinan ini jarang terjadi dan tidak dilazimi oleh adat.

d)     Syarat-Syarat Perkawinan
Sebelum melakukan perkawinan, seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat kawin dalam agama islam, diantaranya harus ada wali, ada yang menerima nikah, ada saksi dan mahar. Dengan kata lain, perkawinan islam yaitu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan, disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang di mana ijab-qabul disebutkan dan mas kawin ditentukan.
Pada masyarakat Aceh Besar syarat-syarat perkawinan dapat digolongkan ke dalam bentuk mas kawin atau mahar. Syarat-syarat lain yang menetukan seorang boleh melakukan perkawinan yaitu orang tersebut harus sudah dewasa. Di daerah Aceh Besar, pemuda dianggap dewasa, jika sudah berumur 18-22 tahun atau akil baliq. Biasanya, dalam umur ini, pemuda-pemuda Aceh Besar melakukan perkawinan untuk pertama kalinya, sedangkan gadis dianggap sudah dewasa jika sudah berumur 16-20 tahun atau sudah mendapat haid pertama. Inisiatif untuk melakukan perkawinan datangnya dari pihak pemuda, sedangkan wanita hanya menerima saya. Dalam hal ini timbul istilah “kon mon mita tima” yang artinya bukanlah sumur mencari timba, tetapi sebaliknya. Menurut masyarakat Aceh pada umumnya, sebelum melakukan perkawinan, orang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Sudah dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan lancar, karena akan mendapat mendapat malu nanti, bilamana ia di malam-malam bulan Ramadhan (puasa) tidak dapat turut bersama-sama dengan kawan-kawannya sekampung untuk melakukan pengajian Al-qur`an (tadarus) yang disebut “meudaruih” oleh orang aceh.Meudaruih ini dipentingkan dikampung-kampung.pemuda  yang bersangkutan merasa dirinya tersendiri. Bilamana tidak dapat turut meudaruih istimewa bukan dikampungnya sendiri
2.      Dapat mengerjakan sembahyang lima waktu, sembahyang jum’at, sembahyang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. begitu juga perintah-perintah agama isalam lainnya,seterusnya ia harus pula mengetahui kewajiban-kewajiban ini diwajibkan juga supaya wanita-wanita yang akan kawin mengetahuinya.Pria dan wanita diadatkan agar menunjukkan muka-manis,lemah -lembut dan sebagainya dalam pergaulan hidup mereka selaku suami-istri .Sifat sabar harus juga dimiliki sang suami dan sang istri.
3.      Mengetahui adat sopan-santun dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat seperti:
a.       Bilamana berbicara dengan orang yang lebih tua umurnya/terhormat diharuskan mempergunakan kata-kata yang wajar dengan sikap lembah lembut
b.      Menghormati orang yang dilawannya bercakap itu;
c.       Dalam pembicaraan-pembicaraan dirapat-rapat tidaklah menghina orang lain, tidak memotong pembicaraan atau menentangnya dengan perkataan-perkataan yang kasar
d.      Berbicara,jikalau sudah dapat kesempatan yang diberikan oleh rapat
e.       Berjalan dengan membungkuk sedikit dan meminta ma`af kepada orang-orang lain yang telah lebih dahulu duduk dari padanya,bilamana ia melalui hadapan mereka itu,sambil nebgisyaratkan dengan lengan kananyan
f.       Berusaha mengambil tempat yang tidak akan dipindahkan orang
g.      Tetap memberikan salam kepda orang-orang yang telah lebih dahulu berkumpul disesuatu rapat/pertemuan atau kenduri
h.      Berusaha untuk tidak kentut dalam sesuatu majelis
i.        Tidak mengeluarkan angin via mulut (geureu ob) dikala makan bersama-sama dengan orang lain.
j.        Tidak bercakap-cakap terkecuali karena perlu,dalam waktu makan bersama/kenduri
4.      Sehat jasmani dan rohani.
Persyaratan terakhir untuk sahnya perkawinan, disamping harus ada wali juga harus ada taklik. Taklik artinya ikrar yang harus diucapkan oleh pria waktu dinikahkan oleh wali. Sedangkan wali ini ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah orang tua (ayah kandung) dari dara baro dan wali hakim adalah orang lain yang dikuasakan untuk menikahkan (keuchik atau pegawai KUA).
            Dahulu petugas yang menikahkan orang di aceh di sebut teuku meunasah( teungku sagoe`), seperti yang telah di terangkan bahwa cara pernikahan di aceh wali dari pihak perempuanlah yang memberikan kuasa kepada teuku meunasah. Teungku  meunasah ini bertindak sebagai wakil.
            suatu perkawinan tidak di angggap sah  apabila perkawinan ini tidak di saksikan oleh dua orang sanksi yang cakap dan sopan.  Dahulu pernikahan di aceh di lakukan di meunasah dari kampung calon isteri, orang menikah di meunasah sehari atau lebih sebelum di lakukannya pengantaran linto baro ke rumah istrinya,  tempatnya bukan saja di meunasah tapi juga di seuramoe( serambi muka`) dari rumah calon dara baro`, yaitu sebelumnya di undang kenduri, di mana linto dengan dara baro duduk bersanding.
            Jika seorang wanita yang menikah adalah janda ia sudah mempunyai wewenang untuk mencari wali sendiri (jidong wali keudroe`). Pemilihan hakim bebas tapi di aceh dapat di tandai dengan penunjukan teungku meunasah karena itu sudah menjadi adat negeri.
            Teungku meunasah tidak akan melanjutkan perkawinan dari seorang  gadis yang tidak ada walinya,  hal ini di sampaikan nya dahulu kepada uleebalang untuk mendapat penggurusan. Wali dari gadis sebelum memasuki meunasah sudah di kuasakannya kepada teungku meunasah dengan mengucapkan perkataan yang mengandung maksud bahwa ia mengangkat teungku tersebut sebagai wakilnya untuk mengawinkan  anak perempuannya atau lainnya dengan linto yang ada yang akan datang, dan teungku meunasah menjawab insyaalah.
Sebelum perkawinan dimulai, antara orang-orang tua dari kedua belah pihak mengadakan pembicaraan non-formal. Setelah ada kata sepakat, orang tua pihak laki-laki secara resmi mengutus seorang yang dituakan untuk mewakili sebagai seulangke. Jabatan seulangke ini dahulu dianggap terpandang, karena orangnya di samping harus tahu adat-istiadat, harus tahu pula hukum-hukum islam, khususnya mengenai hukum perkawinan.
istimewa yang berkenaan dengan soal perkawinan.derajat kebangsaannya harus serupa dengan derajat kebangsaan dari pria yang akan di kawinkan,sebab dikala menentukan sang pria menolak untuk kawin,seulangke itu harus menjadi penggantinya, hal yang serupa ini amat jarang terjadi di aceh.seulangke harus cerdas ,tidak dapat ditipu orang dan tangkas dalam pembicaraan-pembicaraan
            Untuk jerih payahnya seulangke mendapat hadiah dari orang yang mempergunakan tenanganya sebanyak satu ringgit aceh untuk setiap bungkal maskawin yaitu 25 ringgit aceh. Sebelum seulengke itu diutus kepihak wanita maka pihak orang tua dari pria berikhtiar untuk mengetahui apakah perkawinan itu akan berbahagia kelak bagi anaknya.
            Mengenai hal ini didatanginya orang-orang yang berpengetahuan dalam hal dimaksud yang disebut orang aceh “phaj”.jika bahagia,barulah maksudnya(mengawinkan anaknya) itu diteruskan.jika tidak maka diadakan perobahan nama dari pihak pria atau pihak wanita atas persetujuan orangtuany, .guna kebahagian mereka kelak. bilamana tidak mendapat persetujuan dari pihak wanita,maka perkawinan dimaksud tidak jadi di teruskan.sebagai kecualinya ada juga orang tua yang menyerahkan hal perkawinan itu ke pada allah saja.
Bagi masyarakat Aceh jiname (mas kawin atau mahar) merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan dalam agama islam di mana pihak pengantin laki-laki diharuskan membayar sejumlah uang kepada kepada calon istrinya. Jiname (mas kawin atau uang mahar) tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya.
Jumlah Jiname tersebut biasanya ditentukan menurut jumlah Jiname dari kakak-kakaknya yang terdahulu. Apabila anak yang akan dinikahkan itu anak pertama, maka ukuran Jiname menurut kebiasaan yang berlaku dalam kerabat yang disesuaikan dengan tingkat sosial ekonominya. Biasanya Jiname berkisar dari 5 sampai dengan 25 mayam mas 24 karat. Emas 24 karat adalah emas 90% sampai 97%.
            Dalam  adat aceh dahulu  telah menetapkan banyaknya mas kawin sampai yang serendah rendahnya, yaitu: anak perempuan dari seorang anak tuanku adalah sebanyak 500 ringgit aceh( sekati mas), anak perempuan dari ureeng ulee (orang terkemuka ) yaitu 100ringgit( 4 bungkus emas).  Anak perempuan darii  orang pertenggahan seperti teugku  meunasah, imuem  dan lain lainnya yaitu 50 ringgit aceh ( 2 bungkus emas), mas kawin dari rakyat umum adalah 25 ringgit aceh( 1 bungkus emas ), dan anak perempuan yang sangat miskinn orng tuanya adalah dua tahil saja.
            Mas kawin seperti yang di uraikan di atas biasanya untuk perkawinan dengan seorang gadis.  Dalam hal lain lain, misalnya kawin  dengan janda, besarnya jelamee (mahar) itu menurut persetujuan kedua belah pihak( di bawah tangan). Mas kawin di bayar ketika berlangsungnya pernikahan.
Saat ini penentuan jiname tidak lagi dengan jumlah ringgit, tetapi telah diganti dengan sejumlah emas atau dengan dengan uang yang dengan harga emas. Bahkan ada pula golongan orang-orang kaya tertentu yang Jiname nya hanya berwujud kitab Suci Al-Qur’an dan seperangkat kelengkapan shalat.

e)      Cara Memilih Jodoh
Memilih jodoh tidak dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang bersangkutan, tetapi oleh orang tua. Dilingkungan masyarakat Aceh, pada prinsipnya tidak ada media pergaulan formal yang mempertemukan antara pria dan wanita, apalagi yang mengarahkan mereka ke perkawinan. Jika pemuda dan pemudi telah pantas untuk kawin, maka orang tua lah yang berperan dalam mencarikan jodoh anak-anaknya. Konsepsi dasar pola berpikir masyarakat suku bangsa aceh tentang perkawinan lebih banyak tertuju pada pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki telah cukup umur, tingkah lakunya telah dewasa, sudah dapat berusaha sendiri, dan memiliki pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungan nya, maka orang tua nya berkewajiban mencari jodoh anaknya.
Untuk kehormatan dan pertimbangan politis ada juga diantara Uleeblang blang di aceh yang mengusahakan supaya anak laki-lakinya kawin dengan wanita-wanita yang sekufu.tuanku-tuanku kawin dengan wanita-wanita dari golongannya sendiri umpamanya  Teungku (turunan tuanku) dan  Cut atau Meurah atau anak-anak perempuan dari Uleebalang-balang yang ternama atau Uleebalang-balang Poteu.Istri-istri yang derajat kebangsawannya jauh lebih rendah dari pada suaminya biasanya pada kerajaan-kerajaan yang resmi tidak mendapat tempat istimewa.Hal ini dewasa ini berhubungan dengan pendidikan modern telah memulai berobah.wanita yang bukan bangsawan yang dikawini oleh seorang Uleebalang-balang,karena pendidikannya modern, dizaman penjajahan Belanda pada kerajaan-kerajaan resmi mendapat juga tempat istemewa. Bukan tak ada pula diantara wanita ini yang mendapat gelaran bangsawan. Rakyat dari suaminya memanggilnya Cut atau Cutnyak
Kini tampak bahwa wanita bangsawan,istimewa yang sudah bersekolah menengah atau tinggi bernikah dengan pria yang keluaran sekolah tinggi. Adat “sekufu” tentang kebangsawan telah mereka robah sendiri dan mereka sudah menyesuaikan dirinya dengan keadaan masa. Mau tidak mau orang tua mereka terpaksa mengikuti keinginan anaknya yang perempuan itu,walaupun prianya bukan termasuk dalam golongan bangsawan aceh.
            Sewaktu kerajaan aceh belum ramai penduduknya,orang aceh merasa bangga kalau anak perempuannya dapat bersuami orang asing yang berilmu yang berbangsa Arab,Turki dan Iran.lazimnya mereka ini dengan kapal dagangannya sendiri datang ke banda aceh dan lain-lain tempat untukurusan perniagaan sebagai orang/anak aceh.Bangsa asing lainnya yang memeluk agama islam,misalnya,orang Pakistan dan Gujerat dapat juga mengawini wanita aceh.
            Tetapi biasanya wanita ini tidak tinggi derajat kebangsaannya.Turunan Abeusi (negro) dan sebagainnya dipandang rendah oleh masyarakat aceh dahulukala. Orang-orang yang berasal dari banten,kurinci yang beragama islam yang telah lama berada diaceh untuk menuntut ilmu agama atau yang sudah menetap di aceh tidak suka mendapat istri seorang wanita aceh.
            Orang-orang asing islam,lazimnya karena pengatahuannya yang mendalam dalam ajaran-ajaran agama mendapat juga kedudukan yang baik di aceh.Hal inipun telah menjadi suatu kebiasaan dalam kerajaan aceh darussalam.Jabatan-jabatan penting tidak melulu disediakan untuk putra/putri aceh saja,maka tidak mengherankan jabatan-jabatan di aceh dipegang dahulu oleh orang-orang turunan bangsa asing.
            Pria-pria aceh lebih-lebih dari golongan-golongan bangsawan,ulama dan orang kaya selalu berusaha untuk kawin dengan wanita-wanita yang terpandang, terkecuali orang tuanya menginginnya.

C.    Upacara Dan Pesta Pekawinan
a.      Upacara sebelum perkawinan
sejak dahulu kala penduduk dari daerah aceh/tanah aceh pekerjaannya antara lain bercocok tanam.Meskipun kemudiannya mereka telah memeluk agama islam, tetapi mereka tetap rajin mengerjakan pekerjaan sawah,berladang ,dan berkebun itu.Suatu istilah aceh “ Taduek,tameugoe-meugoe pruet troe aneuk na”.rupa-rupanaya telah menjadi daerah daging bagi-baginya.Istilah ini maksudnya ialah ”sambil kawan kita bercocok tanam, kita mendapat makan dan keturunan
            Adat kebiasaan mereka itu yang tumbuh sebelum islam, mereka sesuai dalam kehidupan nya sesudah mereka masuk islam yang tidak berlawanan dengan ajaran agamanya yang baru (islam) mereka teruskan memakainya,sementara yang berlawanan atau tidak cocok,mereka tinggalkan berangsur-angsur
            Disebabkan hal perkawinan mengandung adat-istiadat yang dapat dikatakan penting,telah menjadi kelaziman di tanah aceh,walaupun aceh sudah berbentuk “kerajaan aceh Darussalam” pria dan wanita kawin setelah mereka dewasa,cukup umur (tro`umu,dalam bahasa Aceh).Dalam pada itu sesekali ada juga anak-anak perempuan yang agak masih dibawah umur dikawinkan.
            Perbuatan ini dapat dikatakan sebagai hal yang terkecuali dan dilakukan berhubungan dengan beberapa sebab,misalnya anak perempuan itu mempunyai orang tua yang sangat miskin,orang tuanya telah meninggal dunia dan lain-lain sebagainya.         Perkawinan ini biasanya digantungkan saja yang dinamakan orang “Kawin Gantung” Pria dan wanita belum hidup sebagai suami-istri.Telah menjadi adat pria menunggu sampai istrinya itu dewasa.Suami ini,manakala wanita yang telah menjadi istrinya berada dalam kesukaran hidup sehari-hari disebabkan misalnya orang tuanya miskin sekali dan sebaginya ,memberikan juga nafkah hidup istrinya itu,meskipun mereka belum hidup orang laki-bini yang sebenarnya.Pemberian belanja(nafkah hidup)yang serupa ini juga telah menjadi suatu tradisi dalam kerajaan Aceh Darussalam .Kebiasaan ini masih belum lenyap di aceh,lebih-lebih ditempat-tempat yang terletak dipedalaman.
            Selain dari itu, dijumpai juga dalam kerajaan Aceh Darussalam dahulu (sekarang juga ) wanita-wanita kawin setelah lewat umur/lewat tempo yang dianggap orang dewasa. Hal yang serupa ini lazimnya terjadi pada keluarga orang baik-baik (bangsawan),ulama dan orang –orang kaya,karena mereka menunggu pria yang sederajat kebangsawannya yang disebut “sekufu” dan sanggup memelihara rumah tangganya, menurut derajatnya.
            Wanita-wanita di aceh sudah menjadi suatu kebiasaan, untuk kepentingan suaminya, diharuskan menjaga kecantikannya dan dapat pula menahan dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dipandang tidak baik,istimewa yang bersalahan dengan ajaran agama islam
            Guna mencengah terjadinya hal-hal/perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, maka adat aceh melarang pria-pria mengunjungi anak-anak gadis orang,wanita-wanita yang sudah kawin tanpa izin suaminya, begitu juga mengunjungi  janda-janda,seterusnya,adat tidak membenarkan pula pria duduk-duduk di tangga orang atau berada dibawah (dikolong) rumah orang lain,istimewa menjenguk-menjenguk kerumah.Masuk sumur orang,istimewanya didindingi (meukeupalang) dilarang juga oleh adat aceh.
            Kaum pria hendaklah selalu menghormati kaum wanita adat aceh tidak membolehkan pula seorang pria bertatap lama dengan seorang wanita. Membawa anak-anak gadis orang untuk pesiar tidak dibenarkan juga oleh adat.Berkelahi dengan seorang wanita dilarang keras oleh adat aceh dan orang sangat membencinya pria yang melanggarnya.Pria yang berani berbuat pelanggaran ini, maka ia oleh yang berwajib lazimnya dikenakan hukuman adat yang meng`aibkan,misalnya disuruh mengenderai kerbau betina dengan mukanya kebelakang berbau itu dan diarak kampung-kampung untuk di tonton umum.Jadi mau tidak mau seorang pria yang bertengkar dengan seorang wanita terpaksa menahan hati dan kesudahannya mengalah.pengadilan selalu tersedia untuk mengadili perkara mereka
            Untuk dapat meramaikan kampung tempat tinggalnya pria aceh dahulu kawin dengan wanita yang tinggal sekampung dengan dia atau wanita yang menetap dikampung-kampung disekeliling kampungnya.Bukan tak ada seorang pria yang kawin dengan seorang wanita yang tinggal jauh dari kampungnya. Ini dapat dianggap dahulu sebagai kecuali dan terjadi dalam kalangan orang baik-baik (bangsawan,ulama dan orang kaya)
            Wanita yang sudah bersuami(menjadi istri orang) tinggal tetap dikampung nya dan tidak boleh dibawa pindah oleh suaminya itu.Hal ini dipandang sebagi suatu adat yang turun-temurun dahulukala.Akan tetapi berhubungan dengan sesuatu hal penting terpaksa dibawa pindah oleh suami kekampung kediamannya maka sang suami terpaksa membangunkan sebuah rumah yang dijadikan hak milik istrinya itu.
            Adat ini sejak orang aceh berperang dengan orang belanda,sudah mendapat perobahan ,karena keadaan memaksa,perobahan ini diteruskan orang,tegasnya sang istri mengikuti suaminya,kemana saja dibawa untuk menetap pada suatu tempat.
            Wanita-wanita telah dewasa ,tetapi belum bersuami  dianggap orang aceh dahulu mempunyai suatu kesialan yang dinamai “malang” kesialan ini menurut kepercayaan orang aceh (tahayul) dapat dibuat dengan jalan membuang celananya atau disimpan tiga/empat dari sutu jalan.yang mengerjakan pekerjaan ini ialah perempuan yang sudah lanjut usianya.


b.      Acara perkenalan sebelum perkawinan
Pada umumnya tidak terdapat perkenalan anatra pemuda dan gadis sebelum mereka kawin. Oleh karena itu, sering di katakan bahwa pria atau wanita yang akan kawin tidak di beri tahu dahulu. Hal ini terlihat sebelum masa kemerdekaan, bahwa pemuda aceh terpisah dengan pemudi dalam adat pergaulannya.
 Pemuda biasanya bergaul bersama dalam wadah kelompok kelompok tertentu, seperti  kesenian, olahraga dan berburu. Pemudi mempunyai gelar kelompok sendiri, b iasanya kelompok ini sibuk untuk mempelajari bermacam macam keterampilan. Kesibukan ini biasanya di lakukan pada rumah rumah janda tua, seperti belajar mengayam tikar dan lain lain kepandaian putri. Di bidang kesenian merupakan kelompok sendiri seperti kelompok tari pho,laweut ratep meusekat dan lain lain.
Keterbatasan pergaulan antara muda mudi, bukan saja di sebabkan di batasi wadah wadah kelompok tersebut di atas , tetapi adat telah terlebih dulu melang pergaulan beba s antara pemuda dan pemudi.  Apabila seseorang datng bertamu ke suatu rumah, dia tidak boleh masuk ke rumah tersebut apabila suaminya tidak ada di rumah. Bahkan tamu tadi di larang masuk ke dalam perkarangan rumah. Apalagi untuk menjumpai seorang gadis. Dengan demikian acara perkenalan sebelum perkawinan di langsungkan hampir tidak ada. Pemuda dan pemudi menerima apa adanya yang di sodorkan oleh orang tuanya dalam menjodohkan anak anaknya.

c.      Masa peminangan
Sebelum melakukan pekerjaan yang telah menjadi urusannya, seulangke juga memperhatikan hari baik. Ini didasarkan pada hari pertama dalam bulan Islam jatuh pada hari langkah, hari kedua jatuh pada rezeki hari ketiga jatuh pada pertemuan (peuteumuen) hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari peuteumuen.
Ketika melamar, seulangke mempergunakan kata-kata yang telah lazim menurut tradisi yang maksudnya kira-kira: “Hamba datang mengunjungi tuan disebabkan tengku A telah memintanya beliau mohon supaya tuan dapat menerima anaknya yang laki laki sebagai pelayan tuan. Jawaban dari ayah wanita : “ itu tidak patut , karena kami orang miskin”. Seulangke mendesaknya dan pada penghabisan ayah wanita itu memberikan jawaaban. “ segala pembicaraan tuan ingin kami memenuhinya. Kami yang sebenarnyya mempunyai rendah kebanggsaan dan daalam penyelesaian urusan banyak di jumpai kekurangan.  Karena itu hamba tidak tahu , bagaimana seharusnya di berikan jawabannya.”
Setelah lamaran itu di terimaoleh ayah si gadis dengan persrtujuan ibunya, seulangke itu kembali pada ayah si pria yang hendak kawi n dengan meulaporkan bahwa lamaran telah berhasil baik. Selanjutnya ia mengundang ayah pemuda itu bersama sama ia mengunjungi keuchik dan teuku meunasah dari gampong  di mana gadis itu tinggal,  untuk menetapakan hari penyerahan tanda telah bertunangan (peukong haba/ narit) Sebagai hadiah pertunangan .
Perkawinan menurut adat aceh dahulu, bukan hanya urusan famili yang berkepentingan, tetapi juga urusan kampongnya. Keuchik mempunyai hak untuk melang berlangsungny perkawinan seorang pemuda ke kampung lain, jika jumlah gadis gadis yang belum menikah jauh lebih banayak di bandingkan jumlah pemudanya.

d.      Bawaan hadiah pertunangan
            Untuk menentukan pertunangan, orang aceh juga menentukan  harinya dan biasanya pada bulan purnama, tanggal 14/15 bulan islam.  Jika hal ini berhalangan dapat di geser pada tanggal 22. Biasanya yangmembawa tanda tunangan bukan orang yang menjadi family dan pemuda yang bersangkutan, tetapi keuchik, teungku imuem,dan beberapa orang tua dari kampung pemuda itu serta seulangke. Tanda konghaba ini di terima oleh keuchik dan teuku  imuem dari gampong si gadis.
Selain dari tanda konghaba (pertunangan), di bawa serta sirih yang sudah di susun(ranub dong). Tanda kong haba itu diantara nya yaitu satu mayam emas, kain sarung, kain baju, kain selenda, masing  masing satu helai. Bawaan itu kemudian di balas oleh pihak calon dara baro dua atau  tiga talam/hidangan penganan,(halwa meuseukat) yang di ikuti oleh satu talam kecil sirih mesusun (ranub gapu)
            Biasanya pertemuan mengenai penyerahan tanda kong haba itu, di akhiri dengan mengadakan kenduri yang di hadiri oleh pihak linto dan pihak dara baro. Berakhirnya acara ini berarti pertunangan secara resmi telah di lakukan, dan masing masing pihak harus menjaga status nya sebagai  orang telah bertunangan. Dahulu jika pertunangan itu di putuskan oleh pihak dara baro, oleh uleebalang ia di kenakan hukuman denda yang harus di berikan kepada kepala adat. Ada juga yang di selesaikan secara di bawah tangan dan di saksikan oleh keuchik. Pihak dara baro harus mengembalikan tanda pertunngan senilai dua kali lebih banyak.



e.       Upacara peresmian perkawinan
            Beberapa hari sebelum diadakan peresmian perkawinan, kerabat kedua belah pihak tampak sibuk mempersiapkan kebutuhan kebutuahan upacara. Oleh karena itu, masa peresmian sering pula di sebut dengan meukeureuja. Tempat tempat menerima tamu di buat di muka rumah yang di sebut dengan seung(tenda).  Dapur  untuk memasak di buat di belakang atau di samping rumah, agar jangan kelihatan oleh tamu tamu undangan.
            Suatu kebiasaan bagi masyarakat aceh, sebelum pesta perkawinan di langsungkan terlebih dahulu 3 hari 3 malam atau 7 hari 7 malam di adakan upacara meugaca atau boh gaca(berinai). Bagi pengantin laki laki dan perempuan di rumahnya masing masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin di hiasi olleh inai. Selama upacara boh gaca pada malamnya di adakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rebana, hikayah, pho, silat dan meuhaba atu kaba(cerita dongeng).
            Pihak linto jarang sekali mengadakan pesta (upacara) gaca itu, karena sang linto lazimnya tidak suka memakai gaca.paling banyak kuku dari beberapa dari tangannya diberi bergaca.dengan tidak mengadakan upacaranya.
            Ada juga diantara orang-orang yang mampu dari pihak dara baro mengundang orang-orang kampungnya pada pesta inai itu,dengan mengadakan permainan-permainan yang di sebut “piasan” misalnya rapa’i (rebana) sawak rante (menyandang rantai terbakar) seudati atau peulet.kawan sekampung itu dan pemain permainan-permainan dimaksud dijamu makanan oleh orang tua dari anak gadis itu.
            Sesudah 3 hari gatja,tibalah hari “koh andam” (mengandam gadis) Koh Andam
 adalah upacara memotong bulu-bulu halus di bagianwajah dan kuduk dara baro agar kelihatan lebih bersih. Upacara inimengandung makna menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada masalalu dan menggantikannya dengan hal-hal yang baik pada masa yang akandatang.Upacara  Koh Andam dilakukan ketika perempuan dara baro dalamkeadaan suci (sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah dicukur tadidimasukkan ke dalam kelapa gading atau kelapa hijau yang diukir dan masihada airnya. Kelapa ukiran yang berisi rambut tadi ditanam di bawah pohon rindang. Ini mengandung harapan agar mempelai perempuan selalu tegar dan berpikiran tenang ketika menghadapi masalah. dua_empat hari sebelum ini,telah di undang oleh orang sekampung atas nama fihak dara baroe,para tamu yang di perlukan untuk menghadiri upacara itu,para tamu wanita mendapat tempat di serambi belakang dari rumah dara baro dan tamu laki-laki ditempatkan di serambi mukanja atau di tempat yang di bangunkan secara darurat (seueng).
Setelah di lakukannya boh gaca (inai), selanjutnya di lakukan (Peumano Dara Baro) artinya memandikan calon mempelai perempuan. Sebelum masuk padaUpacara peumano, biasanya jugadilakukan peusijuk. Upacara peumano mengandung makna bahwa calon dara baro sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Namun,upacara ini bukan hanya untuk mempelai perempuan saja. Calon pengantinlaki-laki juga menjalani Upacara peumano.Calon mempelai, baik perempuan maupun laki-laki,dimandikan oleh orang tua mereka, tetua adat yang taat, dan beberapa keluarga terdekat.Jumlah mereka harus ganjil.Selama upacara, calon pengantin dibacakandoa-doa agar menjelang perkawinan, mereka dalam keadaan suci lahir dan batin.             Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat dan kadang-kadang diselingilantunan syair. Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang sakral,sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu, upacaraini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti oleh keluargaterdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda antara daerah satudengan daerah yang lain.[6]
           Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah di sembelih pada menjelang subuh, untuk menerima (persiapan) tamu tamu undangan dan sanak keluarga yang datang. Sanak keluarga biasanya sudah berkumpul di rumah, bebrapa hari sebelum pesta di langsungkan.  Tamu tamu undangan lainya dari pagi samapai petang. Tamu tamu yang yang termasuk kawom yang membawa beberapa macam hadiah yang akan di persembahkan kepada kerabat nya yang akan naik ranjan g pengantin. Hadiah hadiah tersebut ada yang berupa sebentuk cincin atau kalun g dari emas, ada pula yan gmembawa kambing dan lain lain kebutuhan untuk pesta. Barang barang bawaan ini di sebut dengan bunggong jaroe. Tamu tamu undangan biasanya membawa uang yang di isi dalam sampul, kemudian di berikan ke pada pengantin melalaui panitia pesta.

f.       Intat linto baro
            Setelah selesai menerima tamu tamu undangan di rumah masing mmasing maka di lanjutkan dengan upacara intat linto(antar pengantin lakin laki ke rumah dara baro (pengantin perempuan).
            Pakaian kebesaran adat aceh menghiasi linto baro, Baju dan celana panjang berpola hitam di atasnya di lilit dengan kain sarung, sebilah rencong di pingggang dan kupiah meukeutop, merupakan pakaian kebesaran ada perkawinan aceh. Setelah selesai linto baro berpakaian, ia di iringi oleh rombongan dengan di panyungi oleh teman teman sejawatnya, menuuju ke rumah dara baro. Busana Pengantin Laki-laki (Peukayan Linto Baro) Busana yang dikenakan oleh pengantin laki-laki terdiri atas: tutup kepala/kopiah (kupiah meukeutob), baju (bajee), celana (siluweue) kain sarung/songket (ija krong ),senjata, sepatu dan hiasan-hiasan (aksesoris) lain.[7]
            Rombongan di pimpin oleh keuchik dan seulangke. Tuerut pula rombongan  untuk menyelasaikan masalah masalah yang penting seperti untuk membawa barang yang akan di persembahkan kepada dara baro.  Barang barang bawaan ini di sebut dengan peuneuwo. Barang barang ini biasanya di masukkan ke dalam sebuah dulang.
            Menjelang rombongan tiba di rumah dara baro seseorang diantaranya mengucap shalawat, lalu pengikut rombongan mengikutinya dengan serempak tiga kali berturut turut.  Salah seorang pihak keluarga pengantin perempuan  dengan di dampingi oleh beberapa orang kawan datng menjemput linto baro sambil sepeuk breuh padee (menabur beras padi).  Kemudian linto baro di bimbing oleh salah seorang wanita tua untuk di bawa ke ruang muka, sebelum linto baro duduk di pelaminan. Tempat duduk sementara di ruang muka ini, sudah di sediakan sebuah tilam (kasur) bersualam benang emas, bantal dan kipas terletak di samping nya.
            Rombongan linto yang perempuan masuk ke dalam rumah penganten, dan yang laki laki di terima dalam sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak berapa lama rombongsn di persilahkan makan, yang di sebut dengan idang bu bisan. Kata bisan adalah untuk pangggilan anatara mertua dengan mertua. Setelah rombongan selesai makan baru diadakan perkawinan. Sekarang kita lihat bahwa pakaian dara baro telah mendapat perobahan sedikit,yaitu:

1.        Baju beledru/sutera berlengan panjang,berwarna kuning ,merah dan sebagainya.
2.        Kain selendang yang terbuat dari benang emas.
3.        Celana plang (belang) yang berujung benag sutera atau benang emas sebagai variasi pada kedua belah kakinya.
4.        Kain sarung dari sutera yang berbunga benang emas (kasap) yang disebut ija lamgugob atau langgi.
5.        Perhiasan emas yang dipakai ialah :
a)         Gelang kaki berkepala emas
b)        Gelang tangan emas
c)         Sawek emas diujung legan baju
d)        Putjok dari emas diataas sawek
e)         Pada leher dikenakan israfi emas
f)         Kerunjong dari emas dipakaikan diatas siku-siku tangan,serupa gelang
g)        Di dada dikenakan kanceng emas euntuek emas
h)        Untuk menutup baju dipakaikan keupah atau meulu dari emas
i)          Di leher pinggir kerah baju dipakaikan klah takue emas
j)          Didada ditambah dengan simplaih emas yang berbunga
k)        Di pinggang di kenakan peudeng emas
l)          Dileher ditambahkan manik-manik emas
m)      Dibelakang pada leher baju dipakaikan tundjong emas
n)        Di dahi dikenakan patham dhoe emas
o)        Di rambut dikenakan dua bungong tadjok dari emas dan bungong got-got (kembang gojang)
p)        Di dekat ruas p (didekatnya) dikenakan bungong preuk-preuk emas
q)        Dirambut bagian muka dipakaikan ajeum gumpak dari emas sementara pada lengan ujung baju dipakaikan juga putjok reubong emas
r)          Pada kedua belah telinga dipakai subang emas atau kerabu.[8]

g.       upacara intat Dara Baro
            Proses upacara intat dara baro (antar penganten perempuan ) ke rumah linto baro pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada pihak penganten laki-laki atau penganten perempuan,tampaknya saling lengkap-melengkapi.
            Proses upacara intat dara baro mansyarakat Aceh pada umumnya dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada yang setelah tujuh hari selesai malam pengantin. Keluarga pihak linto baro kembali mengutuskan teulangke ke pihak dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan dara baro. Setelah ada kata mufakat kedua belah pihak, maka teulangke kembali untuk menyampaikan saat waktu menerima dara baro. Sejak saat itu kedua belah pihak sudah sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan upacara tersebut.
            Meskipun upacara perkawian sudah berlangsung beberapa waktu satu atau dua tahun , dara baro belum lagi mengunjungi mertuanya. Ia harus di jemput oleh ibu darii suaminya, penjemputan ini di namakan “tueng dara baro”. Ibu dari linto dengan beberapa orang perempuan sekampungnaya pergi ke rumah dara baro dengan membawa hadiah uang sekedarnya untuk dara baro, di kala dara baro menjemputnya . mereka ini di jamu makanan oleh dara baro.
            Menurut adat aceh kunjungan ini belum dapat di anggap sebagai undangan tetapi sebagai melihat lihat (saweu) saja. Beberapa waktu berselang di kirim seorang perempuan oleh ibu linto untuk mengulangi permintaan itu. Sebagai utusan prempuan ini menyampaikan undanga tersebut kepada ibu dara baroe.  Permintaan ini di terima dengan hormat, tetapi tidak dengan segera di penuhi.
            Ibu dara baro menunggu sedikit waktu lagi. Setelah di beritahuakn kepada ibu linto, maka barulah dara baro di iringgi oleh beberapa orang perempuan, terdiri dari ahli waris dan perempuan perempuan sekampungnya, berangkat ke kampung suaminya. Dara baro membawa 6/20 talam (idang) kepada mertunya, menurut tenaga keuangan orang tuanya. Dala talam talam (idang) itu di isi penganan (peunajoh), misalnya: bolu(boi), kue kering(peunajoh tho` aceh) dudul( dodol), halwa meuseukat banggala,keukraih, dan lain lain sebagainya. Ibu linto mengganti harga penganan di maksud kira kira satu ringgit aceh untuk satu hidang.
            Pada hari yang telah ditentukan beranngkatlah rombongan dengan mengiringi dara baro dan linto baro menuju ke rumah pihak penganten laki-laki. Rombongan ini terdiri dari sanak keluarga, jiran setempat dan kawan – kawannya. Biasanya rombongan ini semuanya perempuan, kecuali seorang teulangkee dan beberapa orang kawannya untuk keperluan tertentu seperti untuk mengangkat barang bawaan dara baro kepada mertuanya .
Kedua mempelai linto baro dan dara baro berpakaian adat lengkap seperti pakaian pada hari upacara pengresmian dahulu. sepanjang jalan ia dipayungi oleh teman-teman sebayanya secara bergantian, Kedatangan rombongan ini sudah ditunggu dipekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih sebagai tanda penerimaan tamu.Kemudian tamu tersebut dipersilahkan naik kerumah pada ruang tematen. Linto baro dan dara baro langsung di persilahkan duduk diatas pelaminan persandingan,seperti pada upacara peresmian.
            Setelah selesai acara makan rombongan,salah seorang di antara mereka menyerahkan secara adat semua bawaan tadi dalam sebuah dulang kepada pihak mertua. Dulang tersebut diterima oleh salah seorang wanita terkemuka. Kemudian barang-barang bawaan ini diperlihatkan kepada Keuchik kampung setempat,kepada kerabat dan jiran setempat.Barang-barang bawaan ini biasanya dibagi-bagi kepada kerabatnya dan jiran.Terlebih dahulu oleh orang-orang tua menaksirkan jumlah harga barang-barang tersebut.Karena rombongan dara baro pulang nanti,mertuanya akan mengambilkan dulang tadi dengan mengisi uang sejumlah dari harga bawaan tadi atau paling sedikit setengah dari harga bawaan tersebut.Uang pembalasan dulang ini sudah menjadi adat, kalau tidak demikian akan timbul malu dipihak keluarga pengantin laki-laki.
            Kedua mempelai kemudian di peusunteng (dipersunting) dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk.Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta jiran-jiran setempat yang datang . Ketika dara baro melakukan seumah jaro tuan (sembah mertua),ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh mertuannya.ada kalanya pula turut diberikan barang-barang pecah belah. Barang-barang pecah belah yang diberikan tersebut diantaranya yaitu dua buah piring,satu buah mangkung (tempat nasi),dua buah sendok,satu buah tempat cuci tangan,dan satu buah cawan (tempat sayur).Brang-barang ini disebut dengan peumulang.
Setelah selesai upacara,semua rombongan dara baro kembali pulang,dan dara baro yang dimaksud itu harus menginap dirumah orang tua linto sekurang-kurangnya 2×24 jam.dalam waktu ini ia diikunjungi oleh ahli-ahli waris dari pihak suaminya,family linto ini menghadiahkan kepadanya sirih(bri ranub) dan telur.kunjungan ini disebut “djak bri ranub dara baro”.
Segal pemberian itu disimpan dan dibawanya pulang ke kampunya .Kawan-kawan sekampung yang mengantarkan dara baro tersebut pada hari pertama telah balik kerumah masing-masing.Linto yang kerap kali pada waktu itu berada dikampungnya sendiri, tidak mengambil bagian apa-apa dalam peryaan-perayaan tersebut.
Pada hari kembalinya dara baro itu kerumahnya yang disebut “woe bak meunaro” diiringi oleh banyak perempuan dari kampong suaminya dan kampunya sendiri yang datang menjemput kembali.Adat meunaro (penjemputan) dapat dikatakan hamper selamanya dilakukan,meskipun suami istri telah pernah kawan sebelum itu.
Adat itu digambar-gombar irang ,meskipun dara baro itu gadis,apalagi kalau linto nya seorang yang telah lanjut usianya.Dalam hal ini tuleng meunaro itu dilakukan lebih tenang lagi .

h.      peusijuek dara baro
             sebelum melakukan pengandaman(mengukur rambut di dahai). Dara baro yang berkepentingan di tepung tawari peusijeuk.  Cara peusijeuk,  di retik atas  orang  atau barang yang bersangkutan dengan tepung tawar yang di campuri air dingin, kemudian di taburi beras padi. Peretikan dengan tepung tawar, di selenggarakan dengan pohon pohon kecil tertentu yaitu si dinggin,( sisijeuek) dan manek manoe yang di tambahi dengan sejenis rumput yang di sebut naleungsambo. 
            Alat pengandaman darabaro dan bahan bahan untuk  peusijeuk di letakkan dalam dua talam.  Dalam talam pertama berisi beras dan talam kedua berisi padi. Kemudian kedua talam itu di taruh  cawan (mangkok)  dengan tepung tawar dan satu berkas pokok si dinggin, maneukmanoe, dn naleungsambo.  Pada talam yang lain di taruh kelapa muda  yang terbelah, pisau cukur, gunting, minyak wanggi, du abutir telur, kayu cendana, dan sedikit celak, (seureuma) untuk menghitamkan bulunya. 
            Sebelum peusijuek dimulai,terlebih dahulu harus mengucapkan bismillahirohmanirrohim. Setelah pekerjaan mengandam selesai,para tamu yang duduk bersama-sama di serambi belekang, secara bergantian mengambil ketan kuning dan meletakkan pada telinga dara baro yang kemudian disambut dara baro dengan sembah sambil menerima hadiah dari para tamu. Acara ini disebut peusunteng.












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakatAceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam hidupnya.Karena itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis. Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan.
           
Saran
          Dengan ditulisnya makalah yang menjelaskan tentangAdat Perkawinan Di Aceh Besar”  kami berharap makalah dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.



[1] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974, hal.103
[2] Sidi Ghazalba, Batas Kebudayaan dan Agama, Tinta Mas, Jakarta, 1973, hal. 15-16
[3] Ali Hasjmy, Peranan Agama dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No.68, 1989), hal. 38
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974, hal. 103
[5] Alfian (Ed), Tarikh Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hal 129
[6] T. Syamsuddin et. Al,  Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh.(Banda Aceh,  Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh 1978/1979). Hal 20

[7] Cut Intan Elly Arby,Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. (Jakarta: YayasanMeukuta Alam,“Melati” dan Yayasan Insani,1989), hal 18

[8]  Ibid.. hal 18



DAFTAR PUSTAKA

Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: YayasanMeukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia “Melati” dan Yayasan Insani.
T. Syamsuddin et. Al. 1978/1979.  Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh.
Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974
Sidi Ghazalba, Batas Kebudayaan dan Agama, Tinta Mas, Jakarta, 1973
Ali Hasjmy, Peranan Agama dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No.68, 1989)
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974
Alfian (Ed), Tarikh Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta