KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kita
panjatkan kepda ALLAH SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada
waktunya dengan judul” Adat Perkawinan
Di Aceh Besar ”. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada bapak Imam Juaini sebagai dosen pengasuh
mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat dan khususnya bagi pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
berharap bagi pembaca dapat memberi kritik atau saran yang membagun untuk
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata pengantar....................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
A.
Latar belakang........................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.
Adat Istiadat Daerah
Aceh Besar........................................................... 3
B. Pengertian
dan Ruang Lingkup Adat Upacara Perkawinan................... 3
a.
Tujuan Perkawinan
menurut Adat.................................................... 4....
b.
Perkawinan Ideal dan
Pembatasan Jodoh......................................... 5
c.
Bentuk Perkawinan........................................................................... 6
d.
Syarat-Syarat
Perkawinan................................................................. 6
e.
Cara Memilih Jodoh........................................................................ 10
C. Upacara
Dan Pesta Pekawinan.............................................................. 11
a.
Upacara sebelum
perkawinan.......................................................... 11
b.
Acara perkenalan
sebelum perkawinan........................................... 14
c.
Masa peminangan............................................................................ 14
d.
Bawaan hadiah
pertunangan........................................................... 15
e.
Upacara peresmian
perkawinan....................................................... 16
f.
Intat linto baro................................................................................. 17
g.
upacara intat Dara Baro................................................................... 19
h. peusijuek
dara baro.......................................................................... 22
BAB III PENUTUP........................................................................................ 23
A. Kesimpulan............................................................................................ 23
B. SARAN................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... iii
Bab 1
Pendahuluan
A.
Latar
belakang
Budaya aceh adalah budaya yang dijalani
oleh masyarakat yang adat istiadatnya sangat berkaitan dengan islam.Kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat aceh tidak bertentangan dengan ajaran agama
islam. Budaya yang islam ini kita harapkan dapat tercermin dalam semua
tingkah laku dan kehidupan orang aceh.
Budaya
aceh mempunyai prinsip yang disebut adab dan agama itu tidak ubahnya
seperti zat dan sifat yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: dari segi
berbusana, idealnya busana aceh sangat sederhana yakni busana yang menutup
aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya aceh bagi anak
laki-laki yang memakai anting disebut tidak waras (pungoe) karena anting
itu adalah perhiasan bagi wanita
Perkawinan menempati
posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakatAceh. Perkawinan merupakan
proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat
menganggap perkawinan
sebagai sesuatu yang
sakral dalam hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh
mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual
belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis. Secara
biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara
laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh
keturunan. Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan motif
biologis karena menganggapnya
tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran
masyarakat.
Perkawinan
akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma adat dan
agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain,
norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk mengawinkan anaknya,
bila anaknya sudah sampai waktunya(kematangan seksual) yang dalam bahasa Aceh
disebut (tro’ umu), Selain
kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja
menikah akan hidup bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati
oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerjasama
dengan keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat merekadalam
mengasuh rumah tangga. Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua kelompok adat
di Aceh.
B. Rumusan masalah
1.
Mengetahui bagaimana proses
pernikahan di aceh besar?
2.
Apa saja adat-adat pernikahan di
aceh besar?
3.
Apa saja hal- hal yang di lakukan
masyarakat aceh besar sebelum menikah?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana proses
pernikahan di aceh besar
2.
Untuk mengetahui apa saja adat-adat
pernikahan di aceh besar
3.
Untuk mengetahui apa saja hal- hal
yang di lakukan masyarakat aceh besar sebelum menikah
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Adat
Istiadat Daerah Aceh Besar
Adat istiadat daerah Aceh Besar
mengandung pengertian kebiasaan turun temurun yang sudah membudaya pada suatu
masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan yang mentradisi dan menjadi suatu norma
yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, “setiap
masyarakat terikat suatu sistem adat istiadat tertentu, yaitu suatu komplek norma-norma
yang dianggap ada di atas manusia yang hidup bermasyarakat”.[1]
Adat itu tumbuh dan berkembang dari kebiasaan yang hidup dilakukan berulang
kali dan bila ia sudah berkembang seperti normatif, maka ia dirasakan sebagai
hukum yang perlu dipatuhi.[2]
Adat istiadat yang berkembang di
Daerah Istimewa Aceh Besar pada Umumnya dipengaruhi oleh ajaran Islam, sebab
adat Aceh merupakan manifestasi pengalaman ajaran Islam dalam segala aspek
kehidupan masyarakat Aceh Besar yang bernuansa Islami. Hukum Islam dan adat
melekat kuat menjadi suatu kebiasaan. Begitu eratnya hubungan antara adat dan
agama menyebabkan lahirnya ungkapan yang populer dikalangan masyarakat yang
berbunyi:
“Adat
bak Pou temeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak
Laksamana. Hukom ngon Adat Lagee zat ngoen sipheuet.
Maksudnya:
Hukum agama ditangan ulama, hak membuat undang-undang ditangan Putroe Phang
sebagai lambang dari Rakyat, Kekuasaan rakyat dalam keadaan perang ditangan
Laksamana. Hukum (agama) dengan adat seperti zat dengan sifatnya”. [3]
B.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Adat Upacara Perkawinan
Sebelum dijelaskan pengertian dan
ruang lingkup adat perkawinan, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dan
ruang lingkup adat istiadat. Adat adalah kebiasaan secara turun temurun. Adat
istiadat mengandung pengertian kebiasaan turun temurun yang sudah membudaya
pada suatu masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan yang mentradisi dan menjadi
suatu norma yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.[4]
Dari kutipan diatas dapat dipahami
bahwa adat istiadat merupakan suatu tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah
terjadi turun temurun pada suatu komunitas masyarakat. Lain daerah lain pula
adatnya, keaneka ragaman (variasi) adat adalah suatu daerah dengan daerah
lainnya mungkin muncul, antara lain daripada perbedaan pandangan hidup
masyarakat yang membentuk kebiasaan tadi.
Adat istiadat perkawinan adalah
tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam upacara perkawinan. Pemuka adat
dalam perkawinan berperan sebagai orang yang mengatur dan mengkoordinir upacara
perkawinan. Peranan pemuka adat dalam upacara perkawinan sangat vital, tanpa
pemuka adat tidak ada orang yang mengatur dan bertanggung jawab dalam sebuah
upacara perkawinan. Oleh sebab itu “keberadaan pemuka adat dalam suatu wilayah
mutlak diperlukan untuk mengkoordinir upacara perkawinan”.[5]
Adat istiadat perkawinan merupakan
kebiasaan-kebiaasaan yang dilestarikan secara turun temurun yang berhubungan
dengan proses perkawinan di Aceh Besar. Dalam adat-istiadat perkawinan, pemuka
adat berperan memberikan masukan-masukan tentang proses upacara adat perkawinan
dilaksanakan. Sebagai orang yang dianggap mengetahui adat istiadat setempat,
keberadaan pemuka adat menjadi orang yang membimbing dan mengarahkan upacara
perkawinan sesuai dengan adat istiadat setempat.
Adat sebelum perkawinan merupakan
ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi tidak masuk dalam upacara
perkawinan. Dalam hal ini yang termasuk adat sebelum perkawinan adalah tujuan
perkawinan, perkawinan ideal dan pembatasan jodoh, syarat-syarat kawin dan
pemilihan jodoh.
a)
Tujuan
Perkawinan menurut Adat
Merupakan
suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup. Pada dasarnya
perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya,
untuk menyambung keturunannya. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan
selaras dengan keinginan manusia, maka dibuatlah bermacam-macam aturan yang
kemudian menjadi adat tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat
Aceh Besar dalam menyelenggarakan perkawinan mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk memenuhi kebutuhan biologis
2.
Untuk melaksanakan perintah agama
3.
Untuk memenuhi adat
4.
Tujuan yang bersifat ekonomi
5.
Tujuan untuk mempererat silaturrahmi
6.
Tujuan untuk mencari ketenangan hidup
b)
Perkawinan
Ideal dan Pembatasan Jodoh
Pada
suku bangsa Aceh Besar mengenal adanya perkawinan yang ideal dan pembatasan
jodoh. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang lebih disukai, walaupun
merupakan suatu keharusan. Pembatasan jodoh yang terdapat pada masyarakat Aceh
Besar menyebabkan masyarakat harus kawin diluar batas lingkungan tertentu
(eksogami). Masyarakat Aceh Besar mempunyai pantangan untuk tidak melakukan
perkawinan dengan suatu keluarga.
Masyarakat Aceh Besar pada umumnya
beragama islam, sangat mematuhi ajaran islam tentang perkawinan. Karenanya,
perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak saudara laki-laki ayahnya yang
perempuan tidak boleh terjadi karena menurut islam orang tersebut saudara.
Disamping perkawinan itu, perkawinan dengan saudara kandung sendiri sangat
dilarang dan tidak dapat dibenarkan menurut agama, sedangkan perkawinan yang
ideal adalah perkawinan yang seagama.
Pembatasan jodoh lainnya sangat
berhubungan dengan kepercayaan. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa
masyarakat Aceh Besar menganut agama Islam yang fanatik. Perkawinan dengan
orang di luar agama Islam (tidak seiman) sangat dilarang dan di anggap membuat
aib atau malu keluarga dan seluruh kampong, kecuali jika yang dikawini itu
seorang muallaf (telah mengucapkan kalimat syahadat). Biasanya, sanksi yang
diberikan, orang yang bersangkutan tidak diakui lagi oleh orang tua dan
keluarganya serta dikucilkan dari kehidupan masyarakat.
Perkawinan yang ideal bagi
masyarakat Aceh adalah perkawinan yang dilakukan dengan orang yang kedudukannya
setara atau seimbang. Perkawinan yang setara kedudukannya itu di lingkungan
masyarakat Aceh Besar bukan berarti keduanya harus berasal dari keturunan
bangsawan, tetapi dapat saja mereka yang akan melangsungkan perkawinan berasal
dari orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hal kemampuan sosial dan
ekonomi. Perkawinan ini juga sangat ditentukan oleh akhlak dari masing-masing
calon pengantin.
c)
Bentuk
Perkawinan
Pada
dasarnya hanya ada satu bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu
perkawinan dengan peminangan, terutama bagi para gadis dan jejaka. Pihak
keluarga pria mengirim utusan sebagai wakil orang tuanya untuk meminang anak
gadis dari keluarga lain. Pinangan dilakukan secara adat. Jika sudah ada kata
sepakat, maka ditentukan oleh kedua belah pihak hari pelaksanaan perkawinan
bertempat di rumah orang tua gadis, yang dipimpin oleh keuchik atau pemangku
adat. Setelah perkawinan selesai, untuk sementara pengantin bertempatan tinggal
di rumah orang tua dara baro (pengantin perempuan).
Bentuk
perkawinan yang lain jarang terjadi. Bentuk perkawinan yang lain antaranya,
kawin lari. Perkawinan ini terjadi karena apabila orang tua kedua belah pihak
tidak setuju atas percintaan anak-anak mereka. Misalnya, karena tidak seagama,
bertabiat buruk atau tidak sopan, baik pria maupun gadis, sedangkan keduanya
sudah saling mencintai dan sudah memutuskan untuk kawin. Secara diam-diam
keduanya melarikan diri ketempat lain untuk menghadapi pegawai KUA agar mau
menikahkan mereka. Sesuai dengan perintah agama, kedua harus dinikahkan, agar
tidak berbuat zina. Masyarakat tidak mempermasalahkan orang yang kawin lari
karena tidak melanggar ketentuan agama. Hanya saja, untuk sementara waktu
keduanya belum direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Apabila mereka sudah
mempunyai anak, hidup bahagia, dan datang kepada orang tua masing-masing untuk
minta maaf, mereka akan direstui sebagai suami istri. Perkawinan ini jarang
terjadi dan tidak dilazimi oleh adat.
d)
Syarat-Syarat
Perkawinan
Sebelum
melakukan perkawinan, seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan. Syarat-syarat kawin dalam agama islam, diantaranya harus
ada wali, ada yang menerima nikah, ada saksi dan mahar. Dengan kata lain,
perkawinan islam yaitu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin
perempuan, disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang di mana ijab-qabul
disebutkan dan mas kawin ditentukan.
Pada
masyarakat Aceh Besar syarat-syarat perkawinan dapat digolongkan ke dalam
bentuk mas kawin atau mahar. Syarat-syarat lain yang menetukan seorang boleh
melakukan perkawinan yaitu orang tersebut harus sudah dewasa. Di daerah Aceh
Besar, pemuda dianggap dewasa, jika sudah berumur 18-22 tahun atau akil baliq.
Biasanya, dalam umur ini, pemuda-pemuda Aceh Besar melakukan perkawinan untuk
pertama kalinya, sedangkan gadis dianggap sudah dewasa jika sudah berumur 16-20
tahun atau sudah mendapat haid pertama. Inisiatif untuk melakukan perkawinan
datangnya dari pihak pemuda, sedangkan wanita hanya menerima saya. Dalam hal
ini timbul istilah “kon mon mita tima” yang artinya bukanlah sumur
mencari timba, tetapi sebaliknya. Menurut masyarakat Aceh pada umumnya, sebelum
melakukan perkawinan, orang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sudah
dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan lancar, karena akan mendapat mendapat
malu nanti, bilamana ia di malam-malam bulan Ramadhan (puasa) tidak dapat turut
bersama-sama dengan kawan-kawannya sekampung untuk melakukan pengajian
Al-qur`an (tadarus) yang disebut “meudaruih” oleh orang aceh.Meudaruih ini
dipentingkan dikampung-kampung.pemuda
yang bersangkutan merasa dirinya tersendiri. Bilamana tidak dapat turut
meudaruih istimewa bukan dikampungnya sendiri
2. Dapat
mengerjakan sembahyang lima waktu, sembahyang jum’at, sembahyang Hari Raya Idul
Fitri dan Idul Adha. begitu juga perintah-perintah agama isalam
lainnya,seterusnya ia harus pula mengetahui kewajiban-kewajiban ini diwajibkan
juga supaya wanita-wanita yang akan kawin mengetahuinya.Pria dan wanita diadatkan
agar menunjukkan muka-manis,lemah -lembut dan sebagainya dalam pergaulan hidup
mereka selaku suami-istri .Sifat sabar harus juga dimiliki sang suami dan sang
istri.
3. Mengetahui
adat sopan-santun dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat seperti:
a. Bilamana
berbicara dengan orang yang lebih tua umurnya/terhormat diharuskan
mempergunakan kata-kata yang wajar dengan sikap lembah lembut
b. Menghormati
orang yang dilawannya bercakap itu;
c. Dalam
pembicaraan-pembicaraan dirapat-rapat tidaklah menghina orang lain, tidak
memotong pembicaraan atau menentangnya dengan perkataan-perkataan yang kasar
d. Berbicara,jikalau
sudah dapat kesempatan yang diberikan oleh rapat
e. Berjalan
dengan membungkuk sedikit dan meminta ma`af kepada orang-orang lain yang telah
lebih dahulu duduk dari padanya,bilamana ia melalui hadapan mereka itu,sambil
nebgisyaratkan dengan lengan kananyan
f. Berusaha
mengambil tempat yang tidak akan dipindahkan orang
g. Tetap
memberikan salam kepda orang-orang yang telah lebih dahulu berkumpul disesuatu
rapat/pertemuan atau kenduri
h. Berusaha
untuk tidak kentut dalam sesuatu majelis
i.
Tidak mengeluarkan
angin via mulut (geureu ob) dikala makan bersama-sama dengan orang lain.
j.
Tidak bercakap-cakap
terkecuali karena perlu,dalam waktu makan bersama/kenduri
4. Sehat
jasmani dan rohani.
Persyaratan
terakhir untuk sahnya perkawinan, disamping harus ada wali juga harus ada
taklik. Taklik artinya ikrar yang harus diucapkan oleh pria waktu dinikahkan
oleh wali. Sedangkan wali ini ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali
nasab adalah orang tua (ayah kandung) dari dara baro dan wali hakim
adalah orang lain yang dikuasakan untuk menikahkan (keuchik atau pegawai
KUA).
Dahulu petugas yang menikahkan orang
di aceh di sebut teuku meunasah( teungku sagoe`), seperti yang telah di
terangkan bahwa cara pernikahan di aceh wali dari pihak perempuanlah yang
memberikan kuasa kepada teuku meunasah. Teungku
meunasah ini bertindak sebagai wakil.
suatu perkawinan tidak di angggap
sah apabila perkawinan ini tidak di
saksikan oleh dua orang sanksi yang cakap dan sopan. Dahulu pernikahan di aceh di lakukan di
meunasah dari kampung calon isteri, orang menikah di meunasah sehari atau lebih
sebelum di lakukannya pengantaran linto baro ke rumah istrinya, tempatnya bukan saja di meunasah tapi juga di
seuramoe( serambi muka`) dari rumah calon dara baro`, yaitu sebelumnya di
undang kenduri, di mana linto dengan dara baro duduk bersanding.
Jika seorang wanita yang menikah
adalah janda ia sudah mempunyai wewenang untuk mencari wali sendiri (jidong
wali keudroe`). Pemilihan hakim bebas tapi di aceh dapat di tandai dengan
penunjukan teungku meunasah karena itu sudah menjadi adat negeri.
Teungku meunasah tidak akan
melanjutkan perkawinan dari seorang
gadis yang tidak ada walinya, hal
ini di sampaikan nya dahulu kepada uleebalang untuk mendapat penggurusan. Wali
dari gadis sebelum memasuki meunasah sudah di kuasakannya kepada teungku
meunasah dengan mengucapkan perkataan yang mengandung maksud bahwa ia
mengangkat teungku tersebut sebagai wakilnya untuk mengawinkan anak perempuannya atau lainnya dengan linto
yang ada yang akan datang, dan teungku meunasah menjawab insyaalah.
Sebelum
perkawinan dimulai, antara orang-orang tua dari kedua belah pihak mengadakan
pembicaraan non-formal. Setelah ada kata sepakat, orang tua pihak laki-laki
secara resmi mengutus seorang yang dituakan untuk mewakili sebagai seulangke.
Jabatan seulangke ini dahulu dianggap terpandang, karena orangnya di
samping harus tahu adat-istiadat, harus tahu pula hukum-hukum islam, khususnya
mengenai hukum perkawinan.
istimewa
yang berkenaan dengan soal perkawinan.derajat kebangsaannya harus serupa dengan
derajat kebangsaan dari pria yang akan di kawinkan,sebab dikala menentukan sang
pria menolak untuk kawin,seulangke itu harus menjadi penggantinya, hal yang
serupa ini amat jarang terjadi di aceh.seulangke harus cerdas ,tidak dapat
ditipu orang dan tangkas dalam pembicaraan-pembicaraan
Untuk jerih payahnya seulangke
mendapat hadiah dari orang yang mempergunakan tenanganya sebanyak satu ringgit
aceh untuk setiap bungkal maskawin yaitu 25 ringgit aceh. Sebelum seulengke itu
diutus kepihak wanita maka pihak orang tua dari pria berikhtiar untuk
mengetahui apakah perkawinan itu akan berbahagia kelak bagi anaknya.
Mengenai hal ini didatanginya
orang-orang yang berpengetahuan dalam hal dimaksud yang disebut orang aceh
“phaj”.jika bahagia,barulah maksudnya(mengawinkan anaknya) itu diteruskan.jika
tidak maka diadakan perobahan nama dari pihak pria atau pihak wanita atas
persetujuan orangtuany, .guna kebahagian mereka kelak. bilamana tidak mendapat
persetujuan dari pihak wanita,maka perkawinan dimaksud tidak jadi di
teruskan.sebagai kecualinya ada juga orang tua yang menyerahkan hal perkawinan
itu ke pada allah saja.
Bagi
masyarakat Aceh jiname (mas kawin atau mahar) merupakan syarat mutlak
bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan
dalam agama islam di mana pihak pengantin laki-laki diharuskan membayar
sejumlah uang kepada kepada calon istrinya. Jiname (mas kawin atau uang
mahar) tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya.
Jumlah
Jiname tersebut biasanya ditentukan menurut jumlah Jiname dari
kakak-kakaknya yang terdahulu. Apabila anak yang akan dinikahkan itu anak
pertama, maka ukuran Jiname menurut kebiasaan yang berlaku dalam kerabat
yang disesuaikan dengan tingkat sosial ekonominya. Biasanya Jiname
berkisar dari 5 sampai dengan 25 mayam mas 24 karat. Emas 24 karat adalah emas
90% sampai 97%.
Dalam adat aceh dahulu telah menetapkan banyaknya mas kawin sampai
yang serendah rendahnya, yaitu: anak perempuan dari seorang anak tuanku adalah
sebanyak 500 ringgit aceh( sekati mas), anak perempuan dari ureeng ulee (orang
terkemuka ) yaitu 100ringgit( 4 bungkus emas).
Anak perempuan darii orang
pertenggahan seperti teugku meunasah,
imuem dan lain lainnya yaitu 50 ringgit
aceh ( 2 bungkus emas), mas kawin dari rakyat umum adalah 25 ringgit aceh( 1
bungkus emas ), dan anak perempuan yang sangat miskinn orng tuanya adalah dua
tahil saja.
Mas kawin seperti yang di uraikan di
atas biasanya untuk perkawinan dengan seorang gadis. Dalam hal lain lain, misalnya kawin dengan janda, besarnya jelamee (mahar) itu
menurut persetujuan kedua belah pihak( di bawah tangan). Mas kawin di bayar
ketika berlangsungnya pernikahan.
Saat
ini penentuan jiname tidak lagi dengan jumlah ringgit, tetapi telah
diganti dengan sejumlah emas atau dengan dengan uang yang dengan harga emas.
Bahkan ada pula golongan orang-orang kaya tertentu yang Jiname nya hanya
berwujud kitab Suci Al-Qur’an dan seperangkat kelengkapan shalat.
e)
Cara
Memilih Jodoh
Memilih
jodoh tidak dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang bersangkutan, tetapi oleh
orang tua. Dilingkungan masyarakat Aceh, pada prinsipnya tidak ada media
pergaulan formal yang mempertemukan antara pria dan wanita, apalagi yang
mengarahkan mereka ke perkawinan. Jika pemuda dan pemudi telah pantas untuk
kawin, maka orang tua lah yang berperan dalam mencarikan jodoh anak-anaknya.
Konsepsi dasar pola berpikir masyarakat suku bangsa aceh tentang perkawinan
lebih banyak tertuju pada pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki telah cukup
umur, tingkah lakunya telah dewasa, sudah dapat berusaha sendiri, dan memiliki
pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungan nya, maka orang tua nya
berkewajiban mencari jodoh anaknya.
Untuk
kehormatan dan pertimbangan politis ada juga diantara Uleeblang blang di aceh
yang mengusahakan supaya anak laki-lakinya kawin dengan wanita-wanita yang
sekufu.tuanku-tuanku kawin dengan wanita-wanita dari golongannya sendiri
umpamanya Teungku (turunan tuanku) dan Cut atau Meurah atau anak-anak perempuan dari
Uleebalang-balang yang ternama atau Uleebalang-balang Poteu.Istri-istri yang
derajat kebangsawannya jauh lebih rendah dari pada suaminya biasanya pada
kerajaan-kerajaan yang resmi tidak mendapat tempat istimewa.Hal ini dewasa ini
berhubungan dengan pendidikan modern telah memulai berobah.wanita yang bukan
bangsawan yang dikawini oleh seorang Uleebalang-balang,karena pendidikannya
modern, dizaman penjajahan Belanda pada kerajaan-kerajaan resmi mendapat juga
tempat istemewa. Bukan tak ada pula diantara wanita ini yang mendapat gelaran
bangsawan. Rakyat dari suaminya memanggilnya Cut atau Cutnyak
Kini
tampak bahwa wanita bangsawan,istimewa yang sudah bersekolah menengah atau
tinggi bernikah dengan pria yang keluaran sekolah tinggi. Adat “sekufu” tentang
kebangsawan telah mereka robah sendiri dan mereka sudah menyesuaikan dirinya
dengan keadaan masa. Mau tidak mau orang tua mereka terpaksa mengikuti
keinginan anaknya yang perempuan itu,walaupun prianya bukan termasuk dalam
golongan bangsawan aceh.
Sewaktu kerajaan aceh belum ramai
penduduknya,orang aceh merasa bangga kalau anak perempuannya dapat bersuami
orang asing yang berilmu yang berbangsa Arab,Turki dan Iran.lazimnya mereka ini
dengan kapal dagangannya sendiri datang ke banda aceh dan lain-lain tempat
untukurusan perniagaan sebagai orang/anak aceh.Bangsa asing lainnya yang
memeluk agama islam,misalnya,orang Pakistan dan Gujerat dapat juga mengawini
wanita aceh.
Tetapi biasanya wanita ini tidak
tinggi derajat kebangsaannya.Turunan Abeusi (negro) dan sebagainnya dipandang
rendah oleh masyarakat aceh dahulukala. Orang-orang yang berasal dari
banten,kurinci yang beragama islam yang telah lama berada diaceh untuk menuntut
ilmu agama atau yang sudah menetap di aceh tidak suka mendapat istri seorang
wanita aceh.
Orang-orang asing islam,lazimnya
karena pengatahuannya yang mendalam dalam ajaran-ajaran agama mendapat juga
kedudukan yang baik di aceh.Hal inipun telah menjadi suatu kebiasaan dalam
kerajaan aceh darussalam.Jabatan-jabatan penting tidak melulu disediakan untuk putra/putri
aceh saja,maka tidak mengherankan jabatan-jabatan di aceh dipegang dahulu oleh
orang-orang turunan bangsa asing.
Pria-pria aceh lebih-lebih dari
golongan-golongan bangsawan,ulama dan orang kaya selalu berusaha untuk kawin
dengan wanita-wanita yang terpandang, terkecuali orang tuanya menginginnya.
C.
Upacara
Dan Pesta Pekawinan
a.
Upacara
sebelum perkawinan
sejak
dahulu kala penduduk dari daerah aceh/tanah aceh pekerjaannya antara lain
bercocok tanam.Meskipun kemudiannya mereka telah memeluk agama islam, tetapi
mereka tetap rajin mengerjakan pekerjaan sawah,berladang ,dan berkebun
itu.Suatu istilah aceh “ Taduek,tameugoe-meugoe pruet troe aneuk
na”.rupa-rupanaya telah menjadi daerah daging bagi-baginya.Istilah ini
maksudnya ialah ”sambil kawan kita bercocok tanam, kita mendapat makan dan
keturunan
Adat kebiasaan mereka itu yang
tumbuh sebelum islam, mereka sesuai dalam kehidupan nya sesudah mereka masuk
islam yang tidak berlawanan dengan ajaran agamanya yang baru (islam) mereka
teruskan memakainya,sementara yang berlawanan atau tidak cocok,mereka
tinggalkan berangsur-angsur
Disebabkan hal perkawinan mengandung
adat-istiadat yang dapat dikatakan penting,telah menjadi kelaziman di tanah
aceh,walaupun aceh sudah berbentuk “kerajaan aceh Darussalam” pria dan wanita
kawin setelah mereka dewasa,cukup umur (tro`umu,dalam bahasa Aceh).Dalam pada
itu sesekali ada juga anak-anak perempuan yang agak masih dibawah umur
dikawinkan.
Perbuatan ini dapat dikatakan
sebagai hal yang terkecuali dan dilakukan berhubungan dengan beberapa
sebab,misalnya anak perempuan itu mempunyai orang tua yang sangat miskin,orang
tuanya telah meninggal dunia dan lain-lain sebagainya. Perkawinan ini biasanya digantungkan saja yang dinamakan
orang “Kawin Gantung” Pria dan wanita belum hidup sebagai suami-istri.Telah
menjadi adat pria menunggu sampai istrinya itu dewasa.Suami ini,manakala wanita
yang telah menjadi istrinya berada dalam kesukaran hidup sehari-hari disebabkan
misalnya orang tuanya miskin sekali dan sebaginya ,memberikan juga nafkah hidup
istrinya itu,meskipun mereka belum hidup orang laki-bini yang
sebenarnya.Pemberian belanja(nafkah hidup)yang serupa ini juga telah menjadi
suatu tradisi dalam kerajaan Aceh Darussalam .Kebiasaan ini masih belum lenyap
di aceh,lebih-lebih ditempat-tempat yang terletak dipedalaman.
Selain dari itu, dijumpai juga dalam
kerajaan Aceh Darussalam dahulu (sekarang juga ) wanita-wanita kawin setelah
lewat umur/lewat tempo yang dianggap orang dewasa. Hal yang serupa ini lazimnya
terjadi pada keluarga orang baik-baik (bangsawan),ulama dan orang –orang
kaya,karena mereka menunggu pria yang sederajat kebangsawannya yang disebut
“sekufu” dan sanggup memelihara rumah tangganya, menurut derajatnya.
Wanita-wanita di aceh sudah menjadi
suatu kebiasaan, untuk kepentingan suaminya, diharuskan menjaga kecantikannya
dan dapat pula menahan dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dipandang tidak
baik,istimewa yang bersalahan dengan ajaran agama islam
Guna mencengah terjadinya
hal-hal/perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, maka adat aceh melarang
pria-pria mengunjungi anak-anak gadis orang,wanita-wanita yang sudah kawin
tanpa izin suaminya, begitu juga mengunjungi
janda-janda,seterusnya,adat tidak membenarkan pula pria duduk-duduk di
tangga orang atau berada dibawah (dikolong) rumah orang lain,istimewa
menjenguk-menjenguk kerumah.Masuk sumur orang,istimewanya didindingi
(meukeupalang) dilarang juga oleh adat aceh.
Kaum pria hendaklah selalu
menghormati kaum wanita adat aceh tidak membolehkan pula seorang pria bertatap
lama dengan seorang wanita. Membawa anak-anak gadis orang untuk pesiar tidak
dibenarkan juga oleh adat.Berkelahi dengan seorang wanita dilarang keras oleh
adat aceh dan orang sangat membencinya pria yang melanggarnya.Pria yang berani berbuat
pelanggaran ini, maka ia oleh yang berwajib lazimnya dikenakan hukuman adat
yang meng`aibkan,misalnya disuruh mengenderai kerbau betina dengan mukanya
kebelakang berbau itu dan diarak kampung-kampung untuk di tonton umum.Jadi mau
tidak mau seorang pria yang bertengkar dengan seorang wanita terpaksa menahan
hati dan kesudahannya mengalah.pengadilan selalu tersedia untuk mengadili
perkara mereka
Untuk dapat meramaikan kampung
tempat tinggalnya pria aceh dahulu kawin dengan wanita yang tinggal sekampung
dengan dia atau wanita yang menetap dikampung-kampung disekeliling
kampungnya.Bukan tak ada seorang pria yang kawin dengan seorang wanita yang
tinggal jauh dari kampungnya. Ini dapat dianggap dahulu sebagai kecuali dan
terjadi dalam kalangan orang baik-baik (bangsawan,ulama dan orang kaya)
Wanita yang sudah bersuami(menjadi
istri orang) tinggal tetap dikampung nya dan tidak boleh dibawa pindah oleh
suaminya itu.Hal ini dipandang sebagi suatu adat yang turun-temurun
dahulukala.Akan tetapi berhubungan dengan sesuatu hal penting terpaksa dibawa
pindah oleh suami kekampung kediamannya maka sang suami terpaksa membangunkan
sebuah rumah yang dijadikan hak milik istrinya itu.
Adat ini sejak orang aceh berperang
dengan orang belanda,sudah mendapat perobahan ,karena keadaan memaksa,perobahan
ini diteruskan orang,tegasnya sang istri mengikuti suaminya,kemana saja dibawa
untuk menetap pada suatu tempat.
Wanita-wanita telah dewasa ,tetapi
belum bersuami dianggap orang aceh
dahulu mempunyai suatu kesialan yang dinamai “malang” kesialan ini menurut kepercayaan
orang aceh (tahayul) dapat dibuat dengan jalan membuang celananya atau disimpan
tiga/empat dari sutu jalan.yang mengerjakan pekerjaan ini ialah perempuan yang
sudah lanjut usianya.
b.
Acara
perkenalan sebelum perkawinan
Pada
umumnya tidak terdapat perkenalan anatra pemuda dan gadis sebelum mereka kawin.
Oleh karena itu, sering di katakan bahwa pria atau wanita yang akan kawin tidak
di beri tahu dahulu. Hal ini terlihat sebelum masa kemerdekaan, bahwa pemuda
aceh terpisah dengan pemudi dalam adat pergaulannya.
Pemuda biasanya bergaul bersama dalam wadah
kelompok kelompok tertentu, seperti
kesenian, olahraga dan berburu. Pemudi mempunyai gelar kelompok sendiri,
b iasanya kelompok ini sibuk untuk mempelajari bermacam macam keterampilan.
Kesibukan ini biasanya di lakukan pada rumah rumah janda tua, seperti belajar
mengayam tikar dan lain lain kepandaian putri. Di bidang kesenian merupakan
kelompok sendiri seperti kelompok tari pho,laweut
ratep meusekat dan lain lain.
Keterbatasan
pergaulan antara muda mudi, bukan saja di sebabkan di batasi wadah wadah
kelompok tersebut di atas , tetapi adat telah terlebih dulu melang pergaulan
beba s antara pemuda dan pemudi. Apabila
seseorang datng bertamu ke suatu rumah, dia tidak boleh masuk ke rumah tersebut
apabila suaminya tidak ada di rumah. Bahkan tamu tadi di larang masuk ke dalam
perkarangan rumah. Apalagi untuk menjumpai seorang gadis. Dengan demikian acara
perkenalan sebelum perkawinan di langsungkan hampir tidak ada. Pemuda dan
pemudi menerima apa adanya yang di sodorkan oleh orang tuanya dalam menjodohkan
anak anaknya.
c.
Masa
peminangan
Sebelum
melakukan pekerjaan yang telah menjadi urusannya, seulangke juga memperhatikan
hari baik. Ini didasarkan pada hari pertama dalam bulan Islam jatuh pada hari
langkah, hari kedua jatuh pada rezeki hari ketiga jatuh pada pertemuan
(peuteumuen) hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali
seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari
peuteumuen.
Ketika
melamar, seulangke mempergunakan kata-kata yang telah lazim menurut tradisi
yang maksudnya kira-kira: “Hamba datang mengunjungi tuan disebabkan tengku A
telah memintanya beliau mohon supaya tuan dapat menerima anaknya yang laki laki
sebagai pelayan tuan. Jawaban dari ayah wanita : “ itu tidak patut , karena
kami orang miskin”. Seulangke mendesaknya dan pada penghabisan ayah wanita itu
memberikan jawaaban. “ segala pembicaraan tuan ingin kami memenuhinya. Kami yang
sebenarnyya mempunyai rendah kebanggsaan dan daalam penyelesaian urusan banyak
di jumpai kekurangan. Karena itu hamba
tidak tahu , bagaimana seharusnya di berikan jawabannya.”
Setelah
lamaran itu di terimaoleh ayah si gadis dengan persrtujuan ibunya, seulangke
itu kembali pada ayah si pria yang hendak kawi n dengan meulaporkan bahwa
lamaran telah berhasil baik. Selanjutnya ia mengundang ayah pemuda itu bersama
sama ia mengunjungi keuchik dan teuku meunasah dari gampong di mana gadis itu tinggal, untuk menetapakan hari penyerahan tanda telah
bertunangan (peukong haba/ narit)
Sebagai hadiah pertunangan .
Perkawinan
menurut adat aceh dahulu, bukan hanya urusan famili yang berkepentingan, tetapi
juga urusan kampongnya. Keuchik mempunyai hak untuk melang berlangsungny
perkawinan seorang pemuda ke kampung lain, jika jumlah gadis gadis yang belum
menikah jauh lebih banayak di bandingkan jumlah pemudanya.
d.
Bawaan
hadiah pertunangan
Untuk menentukan pertunangan, orang
aceh juga menentukan harinya dan
biasanya pada bulan purnama, tanggal 14/15 bulan islam. Jika hal ini berhalangan dapat di geser pada
tanggal 22. Biasanya yangmembawa tanda tunangan bukan orang yang menjadi family
dan pemuda yang bersangkutan, tetapi keuchik, teungku imuem,dan beberapa orang
tua dari kampung pemuda itu serta seulangke. Tanda konghaba ini di terima oleh keuchik dan teuku imuem dari gampong si gadis.
Selain
dari tanda konghaba (pertunangan), di bawa serta sirih yang sudah di susun(ranub dong). Tanda kong haba itu
diantara nya yaitu satu mayam emas, kain sarung, kain baju, kain selenda,
masing masing satu helai. Bawaan itu
kemudian di balas oleh pihak calon dara baro dua atau tiga talam/hidangan penganan,(halwa meuseukat) yang di ikuti oleh satu
talam kecil sirih mesusun (ranub gapu)
Biasanya pertemuan mengenai penyerahan tanda
kong haba itu, di akhiri dengan mengadakan kenduri yang di hadiri oleh pihak
linto dan pihak dara baro. Berakhirnya acara ini berarti pertunangan secara
resmi telah di lakukan, dan masing masing pihak harus menjaga status nya
sebagai orang telah bertunangan. Dahulu
jika pertunangan itu di putuskan oleh pihak dara baro, oleh uleebalang ia di kenakan hukuman denda
yang harus di berikan kepada kepala adat. Ada juga yang di selesaikan secara di
bawah tangan dan di saksikan oleh keuchik. Pihak dara baro harus mengembalikan
tanda pertunngan senilai dua kali lebih banyak.
e.
Upacara
peresmian perkawinan
Beberapa
hari sebelum diadakan peresmian perkawinan, kerabat kedua belah pihak tampak
sibuk mempersiapkan kebutuhan kebutuahan upacara. Oleh karena itu, masa
peresmian sering pula di sebut dengan meukeureuja.
Tempat tempat menerima tamu di buat di muka rumah yang di sebut dengan seung(tenda). Dapur
untuk memasak di buat di belakang atau di samping rumah, agar jangan
kelihatan oleh tamu tamu undangan.
Suatu
kebiasaan bagi masyarakat aceh, sebelum pesta perkawinan di langsungkan
terlebih dahulu 3 hari 3 malam atau 7 hari 7 malam di adakan upacara meugaca atau boh gaca(berinai). Bagi
pengantin laki laki dan perempuan di rumahnya masing masing. Tampak kedua belah
tangan dan kaki pengantin di hiasi olleh inai. Selama upacara boh gaca pada
malamnya di adakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rebana, hikayah,
pho, silat dan meuhaba atu kaba(cerita dongeng).
Pihak linto jarang sekali mengadakan
pesta (upacara) gaca itu, karena sang linto lazimnya tidak suka memakai
gaca.paling banyak kuku dari beberapa dari tangannya diberi bergaca.dengan
tidak mengadakan upacaranya.
Ada juga diantara orang-orang yang
mampu dari pihak dara baro mengundang orang-orang kampungnya pada pesta inai
itu,dengan mengadakan permainan-permainan yang di sebut “piasan” misalnya
rapa’i (rebana) sawak rante (menyandang rantai terbakar) seudati atau
peulet.kawan sekampung itu dan pemain permainan-permainan dimaksud dijamu
makanan oleh orang tua dari anak gadis itu.
Sesudah
3 hari gatja,tibalah hari “koh andam” (mengandam gadis) Koh Andam
adalah upacara memotong bulu-bulu halus di
bagianwajah dan kuduk dara baro agar kelihatan lebih bersih.
Upacara inimengandung makna menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada
masalalu dan menggantikannya dengan hal-hal yang baik pada masa yang
akandatang.Upacara Koh Andam dilakukan ketika perempuan dara
baro dalamkeadaan suci (sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah
dicukur tadidimasukkan ke dalam kelapa gading atau kelapa hijau yang diukir dan
masihada airnya. Kelapa ukiran yang berisi rambut tadi ditanam di bawah pohon
rindang. Ini mengandung harapan agar mempelai perempuan selalu tegar dan
berpikiran tenang ketika menghadapi masalah.
dua_empat hari sebelum ini,telah di undang oleh orang sekampung atas nama fihak
dara baroe,para tamu yang di perlukan untuk menghadiri upacara itu,para tamu
wanita mendapat tempat di serambi belakang dari rumah dara baro dan tamu
laki-laki ditempatkan di serambi mukanja atau di tempat yang di bangunkan secara
darurat (seueng).
Setelah di lakukannya boh gaca (inai), selanjutnya
di lakukan (Peumano Dara Baro) artinya memandikan calon
mempelai perempuan. Sebelum masuk padaUpacara peumano,
biasanya jugadilakukan peusijuk. Upacara peumano mengandung
makna bahwa calon dara baro sudah dirawat agar badannya bersih dan
kulitnya halus. Namun,upacara ini bukan hanya untuk mempelai perempuan saja.
Calon pengantinlaki-laki juga menjalani Upacara peumano.Calon
mempelai, baik perempuan maupun laki-laki,dimandikan oleh orang tua mereka,
tetua adat yang taat, dan beberapa keluarga terdekat.Jumlah mereka
harus ganjil.Selama upacara, calon pengantin dibacakandoa-doa agar menjelang
perkawinan, mereka dalam keadaan suci lahir dan batin. Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian. Para
pengiring membaca shalawat dan kadang-kadang diselingilantunan
syair. Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang
sakral,sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu,
upacaraini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti oleh
keluargaterdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda antara daerah
satudengan daerah yang lain.[6]
Setelah tiba saat
hari pesta, kerbau atau lembu telah di sembelih pada menjelang subuh, untuk
menerima (persiapan) tamu tamu undangan dan sanak keluarga yang datang. Sanak
keluarga biasanya sudah berkumpul di rumah, bebrapa hari sebelum pesta di
langsungkan. Tamu tamu undangan lainya
dari pagi samapai petang. Tamu tamu yang yang termasuk kawom yang membawa
beberapa macam hadiah yang akan di persembahkan kepada kerabat nya yang akan
naik ranjan g pengantin. Hadiah hadiah tersebut ada yang berupa sebentuk cincin
atau kalun g dari emas, ada pula yan gmembawa kambing dan lain lain kebutuhan
untuk pesta. Barang barang bawaan ini di sebut dengan bunggong jaroe. Tamu tamu
undangan biasanya membawa uang yang di isi dalam sampul, kemudian di berikan ke
pada pengantin melalaui panitia pesta.
f.
Intat
linto baro
Setelah
selesai menerima tamu tamu undangan di rumah masing mmasing maka di lanjutkan
dengan upacara intat linto(antar pengantin lakin laki ke rumah dara baro
(pengantin perempuan).
Pakaian
kebesaran adat aceh menghiasi linto baro, Baju dan celana panjang berpola hitam
di atasnya di lilit dengan kain sarung, sebilah rencong di pingggang dan kupiah
meukeutop, merupakan pakaian kebesaran ada perkawinan aceh. Setelah selesai
linto baro berpakaian, ia di iringi oleh rombongan dengan di panyungi oleh
teman teman sejawatnya, menuuju ke rumah dara baro. Busana Pengantin Laki-laki (Peukayan
Linto Baro) Busana yang dikenakan oleh pengantin laki-laki
terdiri atas: tutup kepala/kopiah (kupiah meukeutob), baju (bajee),
celana (siluweue) kain sarung/songket (ija krong ),senjata,
sepatu dan hiasan-hiasan (aksesoris) lain.[7]
Rombongan
di pimpin oleh keuchik dan seulangke. Tuerut pula rombongan untuk menyelasaikan masalah masalah yang
penting seperti untuk membawa barang yang akan di persembahkan kepada dara
baro. Barang barang bawaan ini di sebut
dengan peuneuwo. Barang barang ini
biasanya di masukkan ke dalam sebuah dulang.
Menjelang rombongan tiba di rumah
dara baro seseorang diantaranya mengucap shalawat, lalu pengikut rombongan
mengikutinya dengan serempak tiga kali berturut turut. Salah seorang pihak keluarga pengantin
perempuan dengan di dampingi oleh
beberapa orang kawan datng menjemput linto baro sambil sepeuk breuh padee (menabur beras padi). Kemudian linto baro di bimbing oleh salah
seorang wanita tua untuk di bawa ke ruang muka, sebelum linto baro duduk di
pelaminan. Tempat duduk sementara di ruang muka ini, sudah di sediakan sebuah
tilam (kasur) bersualam benang emas, bantal dan kipas terletak di samping nya.
Rombongan linto yang perempuan
masuk ke dalam rumah penganten, dan yang laki laki di terima dalam sebuah seung
(tenda) di muka rumah. Tidak berapa lama rombongsn di persilahkan makan, yang
di sebut dengan idang bu bisan. Kata bisan adalah untuk pangggilan anatara
mertua dengan mertua. Setelah
rombongan selesai makan baru diadakan perkawinan. Sekarang kita lihat bahwa
pakaian dara baro telah mendapat perobahan sedikit,yaitu:
1.
Baju beledru/sutera
berlengan panjang,berwarna kuning ,merah dan sebagainya.
2.
Kain selendang yang
terbuat dari benang emas.
3.
Celana plang (belang)
yang berujung benag sutera atau benang emas sebagai variasi pada kedua belah
kakinya.
4.
Kain sarung dari sutera
yang berbunga benang emas (kasap) yang disebut ija lamgugob atau langgi.
5.
Perhiasan emas yang
dipakai ialah :
a)
Gelang kaki berkepala
emas
b)
Gelang tangan emas
c)
Sawek emas diujung
legan baju
d)
Putjok dari emas
diataas sawek
e)
Pada leher dikenakan
israfi emas
f)
Kerunjong dari emas
dipakaikan diatas siku-siku tangan,serupa gelang
g)
Di dada dikenakan
kanceng emas euntuek emas
h)
Untuk menutup baju
dipakaikan keupah atau meulu dari emas
i)
Di leher pinggir kerah
baju dipakaikan klah takue emas
j)
Didada ditambah dengan
simplaih emas yang berbunga
k)
Di pinggang di kenakan
peudeng emas
l)
Dileher ditambahkan
manik-manik emas
m) Dibelakang
pada leher baju dipakaikan tundjong emas
n)
Di dahi dikenakan
patham dhoe emas
o)
Di rambut dikenakan dua
bungong tadjok dari emas dan bungong got-got (kembang gojang)
p)
Di dekat ruas p
(didekatnya) dikenakan bungong preuk-preuk emas
q)
Dirambut bagian muka
dipakaikan ajeum gumpak dari emas sementara pada lengan ujung baju dipakaikan
juga putjok reubong emas
r)
Pada kedua belah
telinga dipakai subang emas atau kerabu.[8]
g.
upacara intat Dara Baro
Proses upacara intat dara baro
(antar penganten perempuan ) ke rumah linto baro pola yang sama pada seluruh
masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang
akan dipersembahkan kepada pihak penganten laki-laki atau penganten
perempuan,tampaknya saling lengkap-melengkapi.
Proses upacara intat dara baro
mansyarakat Aceh pada umumnya dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada yang
setelah tujuh hari selesai malam pengantin. Keluarga pihak linto baro kembali
mengutuskan teulangke ke pihak dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan
dara baro. Setelah ada kata mufakat kedua belah pihak, maka teulangke kembali
untuk menyampaikan saat waktu menerima dara baro. Sejak saat itu kedua belah
pihak sudah sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan upacara
tersebut.
Meskipun upacara perkawian sudah
berlangsung beberapa waktu satu atau dua tahun , dara baro belum lagi
mengunjungi mertuanya. Ia harus di jemput oleh ibu darii suaminya, penjemputan
ini di namakan “tueng dara baro”. Ibu dari linto dengan beberapa orang perempuan
sekampungnaya pergi ke rumah dara baro dengan membawa hadiah uang sekedarnya
untuk dara baro, di kala dara baro menjemputnya . mereka ini di jamu makanan
oleh dara baro.
Menurut adat aceh kunjungan ini
belum dapat di anggap sebagai undangan tetapi sebagai melihat lihat (saweu) saja.
Beberapa waktu berselang di kirim seorang perempuan oleh ibu linto untuk
mengulangi permintaan itu. Sebagai utusan prempuan ini menyampaikan undanga
tersebut kepada ibu dara baroe.
Permintaan ini di terima dengan hormat, tetapi tidak dengan segera di
penuhi.
Ibu dara baro menunggu sedikit waktu
lagi. Setelah di beritahuakn kepada ibu linto, maka barulah dara baro di
iringgi oleh beberapa orang perempuan, terdiri dari ahli waris dan perempuan
perempuan sekampungnya, berangkat ke kampung suaminya. Dara baro membawa 6/20
talam (idang) kepada mertunya, menurut tenaga keuangan orang tuanya. Dala talam
talam (idang) itu di isi penganan (peunajoh), misalnya: bolu(boi), kue
kering(peunajoh tho` aceh) dudul( dodol), halwa meuseukat banggala,keukraih,
dan lain lain sebagainya. Ibu linto mengganti harga penganan di maksud kira
kira satu ringgit aceh untuk satu hidang.
Pada hari yang telah ditentukan
beranngkatlah rombongan dengan mengiringi dara baro dan linto baro menuju ke
rumah pihak penganten laki-laki. Rombongan ini terdiri dari sanak keluarga,
jiran setempat dan kawan – kawannya. Biasanya rombongan ini semuanya perempuan,
kecuali seorang teulangkee dan beberapa orang kawannya untuk keperluan tertentu
seperti untuk mengangkat barang bawaan dara baro kepada mertuanya .
Kedua
mempelai linto baro dan dara baro berpakaian adat lengkap seperti pakaian pada
hari upacara pengresmian dahulu. sepanjang jalan ia dipayungi oleh teman-teman
sebayanya secara bergantian, Kedatangan rombongan ini sudah ditunggu
dipekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih
sebagai tanda penerimaan tamu.Kemudian tamu tersebut dipersilahkan naik kerumah
pada ruang tematen. Linto baro dan dara baro langsung di persilahkan duduk
diatas pelaminan persandingan,seperti pada upacara peresmian.
Setelah selesai acara makan
rombongan,salah seorang di antara mereka menyerahkan secara adat semua bawaan
tadi dalam sebuah dulang kepada pihak mertua. Dulang tersebut diterima oleh
salah seorang wanita terkemuka. Kemudian barang-barang bawaan ini diperlihatkan
kepada Keuchik kampung setempat,kepada kerabat dan jiran setempat.Barang-barang
bawaan ini biasanya dibagi-bagi kepada kerabatnya dan jiran.Terlebih dahulu
oleh orang-orang tua menaksirkan jumlah harga barang-barang tersebut.Karena
rombongan dara baro pulang nanti,mertuanya akan mengambilkan dulang tadi dengan
mengisi uang sejumlah dari harga bawaan tadi atau paling sedikit setengah dari
harga bawaan tersebut.Uang pembalasan dulang ini sudah menjadi adat, kalau
tidak demikian akan timbul malu dipihak keluarga pengantin laki-laki.
Kedua mempelai kemudian di
peusunteng (dipersunting) dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan
sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk.Acara ini dimulai oleh ibu mertua
dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta jiran-jiran
setempat yang datang . Ketika dara baro melakukan seumah jaro tuan (sembah
mertua),ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh mertuannya.ada kalanya
pula turut diberikan barang-barang pecah belah. Barang-barang pecah belah yang
diberikan tersebut diantaranya yaitu dua buah piring,satu buah mangkung (tempat
nasi),dua buah sendok,satu buah tempat cuci tangan,dan satu buah cawan (tempat
sayur).Brang-barang ini disebut dengan peumulang.
Setelah
selesai upacara,semua rombongan dara baro kembali pulang,dan dara baro yang
dimaksud itu harus menginap dirumah orang tua linto sekurang-kurangnya 2×24
jam.dalam waktu ini ia diikunjungi oleh ahli-ahli waris dari pihak suaminya,family
linto ini menghadiahkan kepadanya sirih(bri ranub) dan telur.kunjungan
ini disebut “djak bri ranub dara baro”.
Segal
pemberian itu disimpan dan dibawanya pulang ke kampunya .Kawan-kawan sekampung
yang mengantarkan dara baro tersebut pada hari pertama telah balik kerumah
masing-masing.Linto yang kerap kali pada waktu itu berada dikampungnya sendiri,
tidak mengambil bagian apa-apa dalam peryaan-perayaan tersebut.
Pada
hari kembalinya dara baro itu kerumahnya yang disebut “woe bak meunaro”
diiringi oleh banyak perempuan dari kampong suaminya dan kampunya sendiri yang
datang menjemput kembali.Adat meunaro (penjemputan) dapat dikatakan hamper
selamanya dilakukan,meskipun suami istri telah pernah kawan sebelum itu.
Adat
itu digambar-gombar irang ,meskipun dara baro itu gadis,apalagi kalau linto nya
seorang yang telah lanjut usianya.Dalam hal ini tuleng meunaro itu
dilakukan lebih tenang lagi .
h.
peusijuek
dara baro
sebelum melakukan pengandaman(mengukur rambut
di dahai). Dara baro yang berkepentingan di tepung tawari peusijeuk. Cara peusijeuk, di retik atas
orang atau barang yang
bersangkutan dengan tepung tawar yang di campuri air dingin, kemudian di taburi
beras padi. Peretikan dengan tepung tawar, di selenggarakan dengan pohon pohon
kecil tertentu yaitu si dinggin,( sisijeuek) dan manek manoe yang di tambahi
dengan sejenis rumput yang di sebut naleungsambo.
Alat pengandaman darabaro dan bahan bahan untuk
peusijeuk di letakkan dalam dua talam.
Dalam talam pertama berisi beras dan talam kedua berisi padi. Kemudian
kedua talam itu di taruh cawan (mangkok) dengan tepung tawar dan satu berkas pokok si
dinggin, maneukmanoe, dn naleungsambo. Pada talam yang lain di taruh kelapa
muda yang terbelah, pisau cukur,
gunting, minyak wanggi, du abutir telur, kayu cendana, dan sedikit celak,
(seureuma) untuk menghitamkan bulunya.
Sebelum peusijuek dimulai,terlebih
dahulu harus mengucapkan bismillahirohmanirrohim. Setelah pekerjaan mengandam
selesai,para tamu yang duduk bersama-sama di serambi belekang, secara
bergantian mengambil ketan kuning dan meletakkan pada telinga dara baro yang
kemudian disambut dara baro dengan sembah sambil menerima hadiah dari para
tamu. Acara ini disebut peusunteng.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan menempati posisi yang
penting dalam tata pergaulan masyarakatAceh. Perkawinan merupakan proses
penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat
menganggap perkawinan
sebagai sesuatu yang
sakral dalam hidupnya.Karena itulah, adat-istiadat
Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual
belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis.
Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara
laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh
keturunan.
Saran
Dengan
ditulisnya makalah yang menjelaskan tentang “Adat Perkawinan Di Aceh
Besar” kami berharap makalah dapat
berguna dan bermanfaat bagi pembaca.
[1]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974,
hal.103
[2]
Sidi Ghazalba, Batas Kebudayaan dan Agama, Tinta Mas, Jakarta, 1973,
hal. 15-16
[3]
Ali Hasjmy, Peranan Agama dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No.68, 1989), hal. 38
[4]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974,
hal. 103
[5] Alfian (Ed), Tarikh
Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hal 129
[6] T. Syamsuddin et. Al, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Istimewa Aceh.(Banda Aceh,
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh
1978/1979). Hal 20
[7] Cut Intan Elly Arby,Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. (Jakarta: YayasanMeukuta Alam,“Melati” dan Yayasan
Insani,1989), hal 18
[8] Ibid.. hal 18
DAFTAR PUSTAKA
Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara
Perkawinan Aceh. Jakarta: YayasanMeukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin
Indonesia “Melati” dan Yayasan Insani.
T. Syamsuddin et. Al. 1978/1979. Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh.
Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh.
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974
Sidi
Ghazalba, Batas Kebudayaan dan Agama, Tinta Mas, Jakarta, 1973
Ali
Hasjmy, Peranan Agama dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia,
(Banda Aceh: Sinar Darussalam, No.68, 1989)
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974
Alfian
(Ed), Tarikh Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta